Friday, 5 September 2014

Alasan Cinta

Sudah 14 hari kau koma dan hanya diam kaku terbaring di ranjang kebesaran rumah sakit ini, tanpa ada sedikit pun obrolan walau aku selalu ada di samping kirimu. Air mata ini tak berhenti menetes, pertanyaan yang ku utarakan tak pernah kau gubris. Aku sedih, aku benci. Mengapa tak menggubris? Apa salahku hingga kau hanya diam saja?
Lidahku terasa pahit tak sanggup merasa setiap makanan yang masuk ke dalam mulut. Nasi dan tempe kesukaanmu bagai menumpang lewat ke dalam setiap organ tubuhku untuk kemudian keluar kembali. Selang-selang pada tubuhmu membuatku bingung. Mengapa harus berada disana? Bukankah itu selang yang selalu kita pakai untuk menyiram lili kesukaanmu? Sudah 14 hari kita tak menyiram lili lagi. Selang itu membuatmu terperangkap dan aku hanya bisa meratap. Ia menang atasmu untuk kali ini.
“Gie, kamu cinta nggak sama saya?”
“Kenapa kamu nanya gitu? Pastilah saya cinta sama kamu”
“Kenapa kamu bisa cinta sama saya?”
“Kenapa ya?”
“Ayo dong jawab. Masa kamu nggak tahu kenapa kamu bisa cinta sama saya?”
“Saya nggak bisa jelasin, tapi saya bener cinta sama kamu”
“Gimana saya mau percaya kalau kamu nggak jelasin alasannya?”
“Saya nggak tahu gimana ngejelasinnya. Yang pasti saya suka, saya sayang, saya cinta sama kamu”
“Bohong kamu. Andi aja bisa ngejelasin alasan kenapa dia bisa cinta sama Sasi. Masa kamu nggak bisa sih Gie? Saya pengen tahu alasan kamu”
“Gimana kalau saya kasih bukti aja? Terlalu sulit buat saya ngungkapinnya lewat kata-kata”
“Nggak mau”
Aku selalu bingung dibuat oleh pertanyaanmu dan semakin bingung kala kau tak mau kuberikan bukti. Pada akhirnya aku harus membohongimu. Setiap alasan mengapa aku mencintaimu kupaparkan dengan jelas walau hatiku tidak berkata sama. Kau cantik, suaramu merdu, senyummu menggoda, sikapmu bijaksana dan peduli, dan setiap gerakanmu membuat aku suka. Sungguh jawaban ini tak berasal dari hati kecilku, namun aku tahu setiap wanita selalu tersenyum mendengar jawaban ini termasuk dirimu sayang.
Memang senyum itu terlukis di wajahmu, sayang itu hanya bertahan sebentar. Mobil itu telah merampas semua milikmu. Kecantikanmu telah musnah, warna merah mendominasi wajahmu yang dulunya putih merona. Senyummu tak lagi bisa kulihat, bibirmu telah kaku dan tak bisa bergerak. Suaramu juga tak bisa kudengar, kau hanya diam, diam, dan diam. Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir merah jambumu. Kau juga tak lagi terlihat bijaksana apalagi peduli. Saat air mata ini tak mampu tertahan, kau tak berusaha untuk menghapusnya. Kau justru diam dan menutup matamu.
Sekarang kau tak lagi memiliki hal-hal yang menjadi alasanku mencintaimu. Jika sudah seperti ini, apa kau masih layak untuk kucintai? Haruskah aku tetap mencintaimu di tengah ketidakberdayaan tubuhmu, keburukan wajahmu, dan ketidakpedulianmu? Tidak mungkin aku mencintaimu lagi, karena kau tak lagi sama seperti dahulu.
Kau selalu marah jika aku tak mampu mengungkapkan alasanku mencintaimu, hingga akhirnya aku harus berbohong dan mengucapkan alasan yang sama sekali tak ingin kuucapkan. Sejak dulu aku mencintaimu tanpa alasan. Aku tak tahu mengapa aku menyukaimu dan mengapa akhirnya aku mencintaimu. Namun sungguh aku mencintaimu. Detik ini dan untuk selamanya aku tetap mencintaimu. Aku tak peduli bagaimana keadaanmu sekarang, yang kutahu cinta tak membutuhkan alasan.
Cerpen Karangan: Rahel Las Maria Simbolon

Partikel

Aku selalu tertawa saat mendengar temanku, Firly, mengatakan tentang partikel. Dia selalu berkata seperti ini disaat yang genting, “Karena ada partikel-partikel kecil yang menempel di tubuh sehingga membuat bla… bla… bla,” ujarnya. Itu membuat aku, dan teman-teman tertawa keras. Huft… sayangnya sekarang sedang libur.
Oya, namaku adalah Tasya. Aku masih kelas 4 SD, lho. Tapi, hari-hariku selalu diwarnai dengan lawakkan Firly -walau dia sering membuatku marah- dan sahabatku yang sering menghiburku, Cantik dan Khalisa. Aku sangat berterimakasih kepada sahabatku, terutama Cantik. Karena dia selalu membuatku tertawa. Khalisa sih agak pendiam. Tapi, sebenarnya dia cerewet.
Oh iya, aku bersekolah di Sunny Elementary School. Oya, aku lupa, ada janji dengan Cantik dan Khalisa bermain dengan Najwa di rumahnya. Najwa adalah salah satu temanku. Bisa dibilang sahabat sih. Tapi… menurutku belum tepat, jadi teman dekat saja ya (sama aja gak sih? :D).
Blackberry-ku berbunyi. Oh, bbm dari Cantika. Isinya: “Dmn, Tas? Kok lama sih? Kita udah dri 15 menit yg lalu. Km kan rmhnya dkttt.”
Aku segera berlari kesana. Oh My God! Aku lupa membawa buku! Aku segera mengambil buku-ku dengan tas besar. Kami akan mengadakan party books. Aku membereskannya selama 8 menit. Lalu segera berlari dengan membawa buku-buku itu. #keberatansih
Sesampainya disana, kami langsung menghamburkan buku di kamar Najwa. Orangtuanya sedang di luar negeri bersama orangtuaku, orangtua Cantika, dan orangtua Khalisa. Jadi, rencananya kami akan menginap selama 2 bulan. Karena orangtua kami akan ada di luar negeri selama 8 bulan. Lama ya? Nah, di rumahku 2 bulan, di rumah Cantika 2 bulan, dan di rumah Khalisa 2 bulan. Nah, saatnya PARTY BOOKS!
Saat party books sudah berlangsung 2 jam, tiba-tiba…
“Aku kebelet buang air kecil! Anterin dooong! Plizzz!” Khalisa berteriak. Najwa langsung mengantarkannya. Setelah itu aku bertanya, “Kamu udah dari tadi Sa, kebelet?” tanyaku. “Belum kok. Baru aja. Tiba-tiba udah kayak pengen keluar aja. Hehe,” jawabnya.
Eh sekarang giliranku, Cantik dan Najwa berkata mengeluh, “Laper berat!” ujar kami dengan lemah, tapi bersamaan. Lalu kami berempat tertawa. Langsung saja kami keluar dan bersiap-siap menaiki sepeda.
Kalian tahu, kami ingin kemana? Kami ingin ke minimarket. Kami membeli kornet, telur dan makanan ringan dan masiiih banyak lagi. Totalnya hampir 500 ribu lhooo! Heheheh… maklum, kami ditinggali uang sebanyak 8 juta untuk 8 bulan per anak. Tapi, Najwa dan Cantik hanya diberi 7 juta.
Sampai di rumah, aku bertanya kepada mereka, “Eh kok tadi bisa kayak gitu ya? Teriak bersamaan, dan Khalisa aneh sendiri. Kok bisa ya?” tanyaku bingung. Najwa dan Cantik menjawab serempak, “Karena ada partikel-partikel kecil yang menempel di tubuh, sehingga menyalur ke otak dan menyebabkan kita begitu. Hahaha,” mereka menjelaskan.
5 detik kemudian…
“HAHAHAHA!” kami tertawa keras sekali sampai membangunkan adik Najwa yang berumur 8 tahun. Kelas 3. Kami juga membangunkan kelinci Najwa. Hahaha. Thanks, Fir, karena kamu, kami bisa tertawa puas! Hahaha…
SEKIAN
Cerpen Karangan: Azzahra Z.A-Rara

Catatan Akhir Desember

Aku, inilah aku. Aku tak bisa seperti orang lain dan tak bisa seperti dirimu. Aku hanya bisa menjadi diriku sendiri. Kau bisa berkata aku egois, pemarah atau apapun kata kata bodoh yang ingin kau cap kan padaku. Tapi inilah takdirku, inilah jalan hidupku. Kau mungkin bisa memiliki hatiku, cintaku, juga perasaanku tapi kau tak akan pernah bisa memiliki jalan hidupku. Menjalani semua takdirku, memainkan semua peranku dan melewati suka duka hidupku.
Aku, aku hanya tercipta sebagai insan yang lemah. Yang mencoba belajar tersenyum disaat menangis, mencoba belajar tegar disaat terluka dan mencoba menggapai spanduk bertuliskan kebahagiaan. Kebahagiaan yang abadi, yang bisa membuka mata batinku akan arti sebuah kehidupan. Kehidupan yang sulit aku tebak keinginannya.
Kehidupanku tak seperti kehidupanmu. Yang bisa selalu tertawa, yang bisa selalu berjingkrak jingkrak karena kesenangan, yang bisa selalu berkata itu mudah. Karena memang kehidupanku sangat rumit, sangat sulit untukku memecahkan teka teki di dalamnya. Bahkan jika aku memecahkan teka teki itu tetap sulit untukku mengartikan maknanya. Makna yang begitu buram untukku baca, makna yang begitu rumit untukku ketahui, bahkan sangat-sangat tidak mungkin untukku ungkapkan.
Sekarang aku menyerahkan semua keadaan ini padamu. Karena memang aku tak sanggup menjadi seperti yang kau harapkan, menjadi seperti yang kau inginkan. Karena inilah aku, diriku sendiri. Dan aku tak bisa menjadi seperti orang lain dengan segala keterbatasanku. Aku takan pernah menyesal menjadi sosok yang pernah mengisi hidupmu walau hanya sebentar namun sangat berarti bagiku. Dan aku akan selalu mengenangmu di setiap lembar-lembar cerita hidupku, menyimpan kenangan-kenangan terindah di dalam bingkai hatiku.
Seandainya saat ini kau tau, aku tak ingin mengakhiri semua ini. Namun aku harus merelakan semua itu terenggut karena memang inilah kenyataannya. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri, kenyataan yang menegaskan bahwa inilah akhirnya. Akhir dari segalanya.
Cerpen Karangan: Erika Utami

Selamat Jalan Bun

Hai! Namaku Zharine Dyllana Aika. Panggilanku Ana. Suatu sore yang indah, sehabis pulang sekolah, aku mendengar ayah dan bunda sedang membicarakan sesuatu yang serius. Aku mengupingnya dari balik pintu walaupun aku tahu itu sesuatu yang tidak baik.
“Bian, bagaimana jika Ana dan Billy tahu jika aku begini?” kata bundaku sedikit berbisik kepada ayah.
“Tenang Nadine. mereka tidak bakal tahu saat ini. Tetapi nanti, ketika kamu pergi” kata ayah.
A..apa? pergi? bunda mau kemana? di dalam hati, aku bertanya-tanya.
“Jika aku sudah pergi nanti apakah kau mau menikah lagi Bian?” tanya bunda.
“Tidak” kata ayah.
Menikah lagi? Apakah ayah selingkuh sama tante Gabriel yang selalu datang kesini? aku masih penasaran. rasa ingin tahuku semakin meningkat. Karena itu langsung kutanyakan. Aku keluar dari balik pintu. “Ayah, bunda sakit apa?” tanyaku.
“Ana?” ayah tak percaya aku ada di sampingnya.
“Mmmmm… bunda sakit… Ana ayah tidak akan bertele-tele karena ayah tahu kamu anak pintar. Bunda mengidap penyakit kanker serviks stadium akhir. ayah harap kamu jangan sedih jika bunda pergi nanti.” jelas ayah. Dhuarrr… bagai tersambar petir aku menangis.
Hari ini bunda jatuh pingsan. Keadaan bunda sangat memprihatinkan. jarinya seperti ranting pohon, wajahnya pucat, dan rambutnya rontok. Ayah membawanya ke rumah sakit. aku ikut. Sedangakan Billy, adikku dititipkan ke Mbak jum tetangga sebelah. Sesampainya di sana bunda dimasukan ke ruang ICU.
Setelah 1 jam setengah kira-kira lamanya dokter datang. Pertanyaan bertubi-tubi melontar dari mulutku dan ayah. Sebelum dokter menjelaskan, tanteku, tante Hilwa datang. “Pak, istri anda selamat. tetapi… bukan saya mendahului yang maha pencipta, tetapi istri anda divonis akan meninggal kira-kira 1 bulan lagi. Tetapi, kita serahkan saja kepada yang maha pencipta.” jelas dokter itu.
Hari-hariku kini gelap gulita. temanku Vatin mencoba menghiburku. Pada hari minggu, aku, Bella dan Vatin pergi ke rumah sakit untuk menjenguk bunda. Sesampainya disana, aku masuk kamar bunda. Coba tebak apa yang terjadi? bunda… bunda! tubuh bunda berguncang hebat. Busa dari mulut yang tertutup selang oksigen penuh busa. Alat pendeteksi detak jantung bertanda garis. Saat itu juga bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tak tahu harus bilang apa. hanya menangis yang bisa kulakukan. selamat jalan Bun!
Untuk bunda Nadine Alifa. Selamat jalan bun…
Cerpen Karangan: Zharine Dyllana Aika

Miracle (Part 1)

Tak kusangka masih saja kudekap kedua lutut dan bertopang dagu selama 2 jam, ini benar-benar membuatku lelah. Aku hanya tak mengerti maksud dari bulir-bulir kata yang kupelajari saat ini. Haruskah kutunggu malam tiba untuk mengerti semua kata-kata yang cukup membuat semua ini terasa menjengkelkan. Sedikit membantu tawaran Jane untuk nonton saat ini, tanpa pikir panjang kulepas dekapan ini dan berlari menuruni tangga, kutemui wanita yang berstyle 35 tahunan serta rambut pirang keriting kecoklatan hanya dikucir setengah bersimpul pita yang sedang bersandar santai sambil membaca buku yang setidaknya membuat mom cukup sibuk untuk tak mengantarku.
“Apa yang kau inginkan?” tanya mom tanpa memalingkan wajahnya, aku hanya mendesah panjang -memberi isyarat agar memalingkan wajahnya kiranya hanya 10 cm dari buku- mom memalingkan wajah dan mengusap rambutku yang cukup berantakan,
“Kenapa kau selalu begitu? Tak bisakah dengan cara lain?” mom terus bertanya,
“Kau tau mom? Di sini benar-benar mencekam untuk belajar, aku hanya…” kataku sembari berkedip, kurasa itu termasuk cara jitu agar aku dibiarkan pergi,
“Yeah? Lalu apa? Ku tebak kau ingin menonton dengan Jane dan Jessie?” kata mom, aku mengangguk lemas sambil tersenyum dan menatap paras wajah wanita cantik di hadapanku,
“Mom tak perlu mengantarku, aku akan pergi dengan Gren —supir keluarga” aku berusaha meyakinkan, air mukanya tak terlalu meyakinkan untuk bilang ‘ya’ baiklah selang beberapa detik mom mengangguk setuju,
“Pintu tutup saat makan malam” kata mom sambil membuka buku yang tadi dibacanya kemudian sibuk membaca.
Singkatnya aku sudah bersama Jane dan Jessie di antrian tiket ‘Catching Fire’ aku benar-benar banyak bicara dan tak bisa berhenti, kurasa mereka berdua tak terlalu keberatan untuk mendengarkanku. Sampai akhirnya giliran kami untuk membeli tiket bibirku tak henti-hentinya bergerak. Dari kejauhan seperti ada suara memanggilku dengan keras, “Jenny” darimana sumber suara itu berasal? Kemudian terdengar lagi dan terus-menerus sampai 3 kali. Terlihat sosok cantik, bersepatu high-heels bercelana pendek diatas lutut berbaju merah muda tak berlengan, dan rambut pirang pucat dibiarkan terurai lembut -aku hanya mengkoreksinya dari bawah- Anne. Anne melambaikan tangannya penuh semangat. Dia berjalan cepat menghampiri kami yang hampir memesan seember popcorn.
Tak lama, seorang laki-laki tinggi, berkulit putih cerah berparas tampan dan wajahnya tak asing bagiku. Aku tercengang, itu Richard. Lelaki berumur 16 tahun yang kusuka sejak aku duduk di bangku kelas 7. Tak ada yang tahu hal ini kecuali Jane dan Jessie. Richard langsung merangkul Anne dan memeluknya di depan mataku, benar-benar mengiris hati. Berusaha kututupi sedikit cemburu yang membuat air mukaku berubah drastis. Tapi kurasa mereka sedikit menyadari ada yang berbeda denganku.
“Kenapa kau tak mengerti?” bisikku pelan, berharap tak ada yang mendengarku,
“Aku mengerti Jenny!” sial Jessie mendengarnya,
“Anne, sepertinya kami harus pergi untuk mengisi perut Jenny, dia tak tahan lapar” kata Jane menyelamatkanku,
“Kalian memang sahabatku!” bisikku kepada Jane dan Jessie
Kami tak pergi makan atau ke restoran melainkan kami memilih ke kamar mandi, karena ku yakin mereka tahu aku banyak membendung air mata yang beberapa detik lagi akan meledak. Aku masih tak percaya sekaligus tak suka dengan hubungan Anne dan Richard. Kisah cinta wanita – aku di usia 16 tahun ini sungguh benar-benar membuatku kesal dan putus asa. Rasanya seperti terjangan ombak, sengatan listrik dari petir dan masuk dalam lautan api tanpa dasar, buruk sekali. Mungkin lebih buruk dari kata ‘buruk sekali’. Aku merasa terperosok di jurang tanpa dasar. Aku terisak. Tapi semakin lama aku merasa terperosok dan terus terisak sampai dadaku sakit tertekan, aku semakin kehilangan diriku sendiri.
Ku buka pintu kamar mandi tanpa ragu, menyeka air mata, mencuci mata, dan menggandeng kedua temanku untuk keluar dari kamar mandi. Kami putuskan untuk cepat membeli popcorn dan minum kemudian masuk pada theatre 2 secepatnya, karena pemberitahuan pintu theatre 2 telah dibuka sudah berkumandang keras.
Selama menonton aku tak bisa tenang. Sejujurnya aku benar-benar terusik akan kejadian tadi. Terus berputar-putar di kepalaku tak henti-hentinya membuatku pusing. Kunikmati saja film yang sejujurnya juga tak nyaman.
Berakhirlah film dan aku berharap pemandangan terus baik, tanpa Anne dan Richard. Tak lama seseorang memanggilku dalam telephone, Mom? Apakah aku melanggar salah satu peraturannya? Kurasa jam makan malam juga masih 2 jam selanjutnya. Okay aku angkat.
“Jenny, mom sekarang di salon tempat seperti biasa, pergilah ke sini!” suara mom terlihat santai sekali,
“Tidak bisakah kau menunggu mom?” tanyaku lemas,
“No! Apa salahnya hanya berjalan 1,5 km Jenny Margaretha?” suara mom meninggi, jika sudah begini, aku tak bisa berkutik macam-macam,
“Baiklah aku ke sana” semakin buruk saja hariku, aku hanya melemas dan mematikan sambungan telephone.
Aku pergi kembali ke lantai 1 dan keluar menuju jalanan yang ramai. Tak kusangka aku harus berjalan 1,5 km sendirian, tiada teman bicara. Apakah itu serius? Ku lakukan tanpa teman yang mendampingiku.
Baiklah, aku sangat lelah dan air minum yang kubawa habis. Di sekeliling hanya ada keramaian, tak ada toko yang menjual air minum. Terlintas ide untuk pergi ke taman dan kurasa tak apa, karena mom akan menghabiskan waktu lama di salon itu. Aku termenung di bangku yang cukup panjang ukurannya untukku. Seorang lelaki tampan, dengan kemeja hitam dan berkerah tinggi menghampiriku. Sepertinya lelaki itu sebaya denganku. Dia tersenyum padaku, sangat tampan, kemudian duduk dan memasang raut muka takut,
“Kau tak apa?”
“Tak begitu baik, aku tersesat”
“Mungkin aku dapat membantumu, aku kenal tempat ini seperti diriku sendiri”
“Baiklah, kau tau bougenville hotels? Aku baru pertama pergi ke California”
“Mudah saja, tak begitu jauh dari sini, aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu, bolehkah ku tahu namamu dan asalmu?”
“Tentu, aku As.. Aster, aku berasal dari Perancis. Kalau kau?”
“Aku Jenny, apakah ada di rumahmu?”
“Ya, apabila ayah dan ibuku mempunyai waktu luang berada di rumah. Baiklah mari bergegas!”
Ranselnya terus mengeluarkan suara yang sedikit menggangguku, bagaimana ku bisa tak peduli suara berisik itu? tapi karena suara itu, aku penasaran dengan isi di dalamnya, entah perlu atau tidak. Ah sudahlah. Kami mulai tak canggung untuk saling bicara. Kami bicara banyak hal di perjalanan yang cukup jauh ini, sangat banyak. Entah aku merasa nyaman saja di dekatnya. Rasanya juga tak karuan, girang maupun takut juga nyaman. Tatapannya selalu membuatku berpaling ke arah lain. Aku tak sanggup melihat mata biru yang besar dengan tajam. Tatapannya tajam namun halus, dan selalu menatap lekat-lekat. Siapa yang tak takut dengan hal seperti itu. Kurasa dia tampan dan sangat perhatian kepada perempuan, benar-benar polos juga. Tiba-tiba aku mulai berfikir tentang Richard dan Anne. Kedua hantu pikiran itu tak bisa lenyap dari hidupku sekarang. Tidak hanya dengan Anne aku melihatnya bergandengan roman. Saat itu aku tak ragu untuk menjauhkan diri dari Marrie secepat aku bisa saat tahu Richard berkencan dengannya, lagipula Marrie memang menyebalkan, dia selalu membuatku terpaksa melakukan sesuatu yang tak perlu sampai aku harus dihukum oleh mr. Grill saat pelajaran musik kesukaanku. Juga saat pelajaran olahraga oleh mr.Ken, aku juga harus berlari 10 putaran memutari lapanngan yang benarlah luas.
Kami mudah akrab hanya dalam hitungan menit. Tak kusangka dia anak yang asik diajak bicara. Aku benar-benar terkejut saat dia bertanya hal yang seharusnya tidak penting untuk ditanyakan.
“Sebagian orang tidak suka tak mempunyai status yang jelas dalam hal cinta. Apakah benar untukmu juga? Atau kau punya seorang lelaki yang mempunyai status bersamamu?” tanyanya dengan santai.
“Apakah kau serius? Pertanyaan bodoh hahahahaha” aku terkekeh, dan berharap dia tak bertanya demikian lagi.
“Apakah aku tampak bercanda?” geraknya tetap santai, namun suaranya sedikit meninggi.
“Kau hanya ingin mencari teman yang bernasib serupa ya, kan?” aku masih terkekeh.
“Ya sebagian besar begitu, namun aku hanya lebih suka tak memiliki status begitu” bagaimana bisa aku tak menghindarinya kali ini kalau dia terus menatapku dengan tatapan tajamnya.
“Ya aku juga begitu, bahkan untuk memiliki status begitu kurasa tak mudah” aku agak kurang waras beranggapan demikian. Mungkin aku akan menanggung masa remajaku dengan tekanan batin yang mengatakan lelaki tak ada yang menyukaiku.
“Benarkah? Kurasa kau bisa dibilang cute” pernyataan itu membuatku cukup menghentikan waktu yang berjalan. Aku berusaha menjauhkan pikiranku terhadapnya yang bicara begitu. Ah… kenapa dia tega membuatku semakin redup? Mungkin dia hanya ingin membuatku berhenti gusar.
“Kau hanya ingin membuatku bahagia kan?” otakku semakin aneh saja. Tak percaya aku bisa melontarkan kata seperti itu.
“Tidak juga, hanya aku berkata benar, kenapa? Kau senang? Syukurlah” bisakah dia berhenti menekanku dengan 2 perkataan yang membuatku melambung tanpa arah, tanpa tujuan. Tidakkah dia mengerti aku tak ingin memikirkan tentang cinta. Hal itu benar-benar membuatku bingung.
Kami melanjutkan perbincangan yang sedikitnya tidak ada pokok pembicaraan yang tepat. Rasanya sudah lama kami berjalan ternyata hanya 10 blok tempat kita meninggalkan taman. Seorang anak kecil bertubuh kurus berjaket merah marun dengan celana pendek coklat kusam, juga kucir yang tak rapi, membawa sekotak besar camilan coklat manis yang tampak lezat. Kami berdua berpandangan sebentar kemudian Aster berlari mengejar anak tadi, aku yang hanya berusaha mengaliri suasana dengan hal yang tenang-tenang saja tak begitu berjalan baik. Tanpa pikir panjang aku berlari mengikuti Aster, sambil tersenyum lebar. Aster kembali dengan 2 kotak coklat manis. Ah senyuman itu lagi, kenapa aku selalu tak bisa berhenti tenang jika Aster sudah mulai senyumnya yang membuatku terpaku tanpa berfikir apapun yang logis.
Aku masih terpaku tanpa gerakan sedikitpun. Aster memberikanku sekotak coklat itu. Dia pikir itu akan membuatku bergerak lagi. Tapi selama dia tersenyum aku akan terpaku begini. Gelora untuk bergerak tidak kurasakan saat ini, bahkan Aster menyenggolku agar aku bergerak atau sekadar berguling di tanah. Aku hanya mengangguk dan berterimakasih. Sebuah coklat manis bulat masuk dalam mulut hangatku, musim panas kedua ini benarlah panas. Coklat kedua akan kunikmati lebih lembut, tapi hal apa aku tersungkur ke depan, pandanganku mengunang, dan …
Bagaimana ini terjadi? helaian awan mengeliliku kemudian berputar-putar sempurna. Aku mulai berfikir bahwa surga telah kupijaki, dan aku akan hidup di sini. Tapi kenapa aku masih merasa sakit pada bagian kepala. Hempasan angin yang menerpa rambutku dirasa cukup panas. Sungguh aku masih bisa merasakan rasa sakit pada pinggulku juga punggungku. Aku memilih untuk berbaring di tempat yang sebenarnya surga atau bukan entahlah. Tiada siapapun di tempat ini, tidak juga sebuah benda kecil atau apapun yang bisa memberi jaminan tempat apakah ini. Aku kembali tak sadarkan diri.
Goncangan ini membuatku terguling ke samping. Kepalaku pusing sekali, entah karena aku dipukul dengan benda sekuat apa atau memang aku migrain. Itu tidak penting. Hanya saja kali ini aku berada di mana? Aku berusaha mencari petunjuk aku di mana. Benda ini berjalan, namun gelap, juga banyak barang-barang yang mengeliliku bak mengadiliku mengapa aku di sini? aku tak yakin bahwa ini mobil van atau pick-up dengan tenda di baknya. Tiada hal yang kupikirkan kecuali Aster, pasti dialah penyebab ini. Dia adalah orang jahat yang mengelabuhiku dan menculikku. Rasanya aku ingin mencekiknya sampai mati, apa maksudnya, dia telah membuatku menyukainya ataupun tatapannya juga senyumnya. Barang-barang tak jauh dari tempat aku duduk terkujur bergerak-gerak, kepala Aster muncul tak lama setelah itu. Kuarahkan kedua tanganku yang hendak mencengkramnya, aku mencekiknya sebelum nyawanya pulih total. Aku sedang gila atau apa aku mencekiknya sampai dia memukul-mukul wajahku, aku mendadak stress sendiri. Aku mencengkram wajahku sendiri, Aster berusaha melepaskannya dan menggenggam tanganku erat-erat.
“Penghianat!” kataku terus berteriak kasar.
“Apa? Pertama, bagaimana kau bisa berkata begitu kalau aku tidak tahu kita dimana? Kedua, kau gila!” ya, dia benar, aku gila. Bahkan lebih dari gila untuk menuduh orang, dan mencekik laki-laki yang berusaha membantuku. Aku terdiam dan mencoba tenang. Aster memindahkan tanganku ke dekapan yang lebih hangat. Aku tak menyangka akan sehangat dan setegang ini. Dan aku juga meringkup dalam hangat yang sangat nyaman ini. Aku baru pertama merasakan pelukan lelaki sehangat ini selain Papa. Bahkan kakek sendiri tidak senyaman ini. Rasanya seperti hanya ada kami saja di sini, nyatanya hal itu benar. Dengan lembut Aster melepasnya, sembari berkata, “Kita akan baik-baik saja” aku mengangguk dan mendekap kedua kakiku untuk ke sekian kalinya. Aku berharap di antara kami menganggap persoalan tadi kunjung surut ditelan ombak kegelapan. Aster berbisik padaku agar aku berjalan menuju ke arahnya.
Aster sudah gila bila dia berfikir untuk melompat dalam keadaan benda ini bergerak dengan kecepatan rata-rata 80km/jam. Ah dia memang benar-benar anak lelaki yang beruntung. Hamparan luas rerumputan tinggi mengundang gejolakku untuk mendukungnya. Aku mengangguk meski aku tak percaya harus melakukannya. Tangannya meraba ke punggungnya dan kemudian menghembuskan nafas panjang yang nampak sangat lega, aku ikut meraba punggungku dan berharap tas punggung yang sedaritadi ku bawa masih ada. Aku girang karena aku masih bisa merasakan tas biru muda yang ku dapat di salah satu pusat belanja mewah di Singapore. Aku tak menyangka Aster menarik lenganku saat aku masih bersiap, aku berteriak seakan jika sudah begitu dunia akan kembali seperti semula. Aku jatuh berguling-guling, pikiran bahwa sebentar lagi seseorang akan menemukan kami dalam keadaan gila dan kami akan selalu membutuhkan morfin di tidur kami menghantuiku. Kepalaku bertambah kacau saja, tapi aku harus mencari Aster. Dimana anak itu? rumput tinggi ini semakin membuatku susah melihat. Aku terus memanggilnya, lagi-lagi kepalanya tiba-tiba muncul di tempat berjarak 1 meter ke timur dari tempat aku duduk. Kali ini ada kesempatan untuknya mengumpulkan nyawa. Aku tak memberontaknya lagi, aku mengelus pundaknya entah mengapa aku bisa lebih aneh dari biasanya. Dia menoleh dan tersenyum, senyuman manis yang selalu membuatku terpaku, “Kau tak apa?” dari suaranya sebenarnya dialah yang harusnya menghawatirkan dirinya sendiri. Aku mengangguk, “Kau benar-benar gila!” kataku sembari tertawa.
Aku baru bisa berfikir logis sekarang, nyatanya 2 fakta yang sedang kugenggam masih tak dapat kupercayai. Antara kami sedang berada di mana? Dan masih pukul 8 pagi. Apa yang terjadi sebenarnya? Aku mengeluarkan telephone yang kubawa kemudian melihat di mana kita sebelum battery-nya habis dan menelpon mom. Italia! Ini gila, bagaimana bisa kami berada di Italia dan perjalanan sudah menghabiskan waktu 1 hari. Aku berusaha menelpon mom. Sial, di luar jangkauan. Secepatnya kami harus mencari pusat kota atau kehidupan manusia agar dapat meminta bantuan. Aku terus melihat GPS yang mengarahkan kami ke kota Roma tapi sialnya lagi battery telephone-ku habis. Untungnya aku mengingat jalannya, hanya 1 mil dari sini.
Kami kembali menyusuri jalanan yang sepi, daripada harus menanggung resiko bertemu kawanan ular, lebih baik melewati jalan berbatu yang sepi. Aster terus mendengus di antara perbincangan kami.
“Andai saat itu aku tak berkeinginan untuk bebas.” Katanya dengan penuh sesal.
“Apa? Apa maksudmu?”
“Begini, hal ini akan membuatmu meninggalkanku.”
“Hahaha apa kau bercanda? Apa kau pikir aku sejahat itu?” aku tertawa lepas, untuk meredupkan rasa tegang di antara kami.
“Berjanjilah!” serunya dengan air muka tegang.
Aku mengangguk setuju.
“Aku pangeran dari kerajaan Inggris. Setiap hari di hariku hanya ada larangan ini itu, perintah ini itu, walaupun aku dimanjakan namun tetap hal itu menekanku. Aku ingin bebas seperti banyak orang kebanyakan. Aku menyusun rencana, aku mengatakan pada kedua orangtuaku, saat sorotan kamera padaku aku memakai wigs agar rambutku berwarna hitam dan memakai make-up lebih tebal dengan alasan agar aku nampak lebih tampan. Kedua orangtuaku menyetujuinya tanpa berfikir aku mempunyai alasan lain. Mereka bilang memang bangsawan seharusnya berfikir sepertiku. Hal itu sudah berjalan lama, mungkin 1 tahun atau 2 tahun, sampai semua orang lupa bagaimana aku yang asli. Suatu hari seperti biasa jamuan makan malam mewah berjalan membosankan, lebihnya aku tak mempunyai semangat menyeduh ataupun menyantap makanan kecil di meja karena aku akan dijodohkan oleh putri dari kerajaan yang cukup jauh dan dia hadir di jamuan makan malam itu. Aku tak inginkan semua keputusan kedua orangtuaku saat itu. Tapi, malam itu adalah kesempatan bagus untuk bebas, semua orang sibuk mempersiapkan perjodohanku. Para prajurit yang berjaga di pintu belakang pergi ke ruang tengah dan ikut dalam kesengsaraan itu. Dengan mudah, aku keluar dan memesan tiket pesawat menuju California untuk bertemu sahabatku sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya dia hanya anak dari salah satu pelayanku, namun hal itu tak mengusikku sama sekali, sesampainya di sini aku mendapati makamnya yang bunganya masih segar. Aku jarang sekali pergi ke luar istana apalagi ke luar negeri. Penginapan Bougenville yang sederhana kurasa cukup untuk beberapa hari, aku menelusuri California dan bertemu dengan kau. Namaku adalah Antonio Sebastian Terfomio. Kau harus tetap memanggilku Aster” Katanya bersungut-sungut. Aku hanya terdiam, aku sangat kecewa, ingin sekali ku hempaskan genggaman tangan ini ke wajahnya. Aku menarik nafas panjang kemudian tersenyum kecut.
Cerpen Karangan: Fatimah Rizqi Salam. H

Miracle (Part 2)

Dia masih berusaha melontarkan banyak kata maaf padaku, tapi entah hatiku masih beku untuk menerimanya kembali. Bukan sebuah masalah perjodohan yang sedang ku perdebatkan dengan hatiku sendiri. Tatanan kebohongan yang sedikitnya merusak hatiku, aku hanya berfikir bahwa tak mungkin ada sebuah perasaan manis pada putra bangsawan terkenal dari Inggris. Bodoh jika aku memimpikannya dan sedari kemarin tak menyadarinya. Aku bahkan bukan anak orang yang benar-benar terpandang. Aku tidak bisa berfikir jernih nyatanya hal ini terus menggusarkan diriku sendiri. Kurasa aku harus memaafkannya kurasa juga tidak. Hal yang sepele tidak harus terlalu membuatku sepanik ini. Terjangan angin topan tak dapat kuhadapi semudah mencabut rumput liar di halaman belakang rumah. Apa resiko yang akan kudapatkan setelah ini? Apakah ternyata Jane dan Jessie adalah putri juga? Apakah ternyata Marrie lah putri yang akan dijodohkan dengan pangeran ini? Baiklah kini dia kumaafkan.
Walaupun di antara kami masih ada kegusaran yang amat-amat erat tapi kami masih tak canggung untuk saling bicara. Kali ini aku akan membulatkan niatku untuk bersikap seperti biasa. Walau sebenarnya aku telah terperosok jurang tanpa dasar yang mendesakku untuk mati, “Menurutmu apa yang mereka incar?” tanyaku masih sedikit ragu, “Kurasa mereka mengincar ini” katanya sembari menarik kalung yang selama ini tersembunyi di kerahnya yang tinggi, sekilas dari yang kulihat kalung itu berbandul liontin bundar mengkilap. Aster membuka liontin itu dan menunjukkan isinya padaku, “Ini berlian pewaris tahta kerajaan, berlian ini sangatlah berharga, harganya sepertiga tanah Inggris. Berlian ini adalah bukti kekuasaan. Pewaris tahta dan Raja dari kerajaan pasti memiliki ini kemudian akan terus diwariskan oleh cucunya.” Aku mengangguk, memang benar berlian ini nampak sangat berharga dan cantik, “Jadi kurasa mereka tahu kau ini pangeran. Tapi untuk apa Italia?” tanyaku, “Aku tak tahu pasti hanya saja itu tak penting.” Ya dia benar lagi, yang penting sekarang bagaimana kita pulang.
Aku memeriksa dompetku dan syukurlah masih ada cukup uang untuk makan dan naik pesawat menuju California. Ah cerobohnya aku, mata uang Italia dan mata uang Amerika berbeda. Dan aku yakin atm ku telah di blokir karena perkiraan mom dan dad aku diculik dan semua hartaku diambil. Pasti Inggris juga sedang heboh kehilangan pangeran kecil cerdik mereka. Mungkin berita ini telah beredar hampir di seluruh dunia.
Dari kejauhan nampak kerumunan pejalan kaki menuju ke arah yang sama dengan kami. Jalan menjadi beraspal, lampu jalan mulai terlihat saat kita berbelok ke kanan. Jalan raya sangat ramai. Jalan yang tak panas juga tak dingin, standart saja. Apakah ini adalah Roma? Bayangan Colosseum yang mengerikan. Aster berfikir mungkin dengan bahasa inggris kita bisa bicara pada orang-orang di sini, ternyata benar. Seorang pemuda yang kami tanyai mengerti apa yang kami katakan bahkan pemuda itu menyangka Aster adalah pangeran Inggris itu. Memang tepat, tapi dengan cepat aku membelanya dan mengatakan itu hanya tuduhan semata. Aster mendekatkan wajahnya padaku dan berterimakasih. Kemudian tersenyum dengan senyuman manisnya. Oh… kurasa aku terbang lagi. Aster mengajakku pergi ke toko perhiasan.
“Untuk apa kemari? Jangan berfikir kau akan menjual berlian itu?” tanyaku tegang. Aster tertawa pelan, “Apa menurutmu begitu? Memang berlian tapi bukan yang itu.” jawabnya sembari mengeluarkan sekotak kecil berisi 2 berlian, “Inilah cara agar aku tetap hidup di negara orang.” katanya sambil berbisik. Ternyata suara berisik yang berasal dari tasnya adalah berlian, lantas saja suaranya sangat mengganggu. Aku menggelengkan kepalaku sambil tertawa pelan. Cerdik benar pangeran kecil ini.
Aster memberikan 1 berlian itu pada pemilik toko. Pemilik toko itu mengerutkan dahi, “Berlian langka dari Inggris?” tanyanya pada kami, “Tentu” jawab Aster. Pemilik toko kegirangan, dia memberi kami amplop besar berisi uang. Dengan cepat kami keluar dan bersikap normal agar tidak ada yang curiga.
Kami menuju restoran Pizza, Pizza Italia benar-benar nikmat. Kami makan ditemani suasana nyaman Italia, juga musik khasnya.
“Aku baru pertama kali ke Italia.” ucapku sambil mengambil telephone untuk diisi battery-nya, “Aku pun begitu, bagaimana jika sempatkan ke Colosseum!” kata Aster girang. Aku berfikir sejenak, ada benarnya juga menyempatkan ke Colosseum dan menonton Gladiator. Lagipula uang tadi benar-benar banyak. Setelah perut dan battery telephone kami terisi penuh kami beranjak menuju jalanan yang ramai dan menyenangkan. Kami menghampiri seorang ibu dengan anaknya di dalam kereta dorong, “Madam, permisi dimana letak Colosseum melalui jalan terdekat?” tanyaku, “Berjalanlah ke Utara di sana terdapat halte!” jawabnya dengan ramah, “Terima kasih madam.”
Aster berlari dan menggandeng tanganku kemudian melepaskannya tepat di bawah pohon teduh. Dia memintaku untuk berpose layaknya model, tawaran itu tak dapat kuhindari. Dia mengeluarkan telephone genggamnya dan memotretku beberapa kali. Sekarang aku memintanya bergiliran, aku memotretnya dengan beberapa pose. Hampir saja aku tak bergerak saat akan menekan tombol potret di telephone genggamku. Aku, memotret pangeran Inggris, beberapa kali. Rasanya aku melayang tinggi, apakah teman-temanku akan percaya bahwa aku benar berjalan bersama pangeran Inggris? Kurasa tidak. Aster berdiri di sebelahku dan mengacungkan telephone genggamnya ke depan, kameranya menghadap wajah kami, dia tersenyum manis, aku juga akan tersenyum manis. Aku ikut mengacungkan telephone genggamku dan memotret kami berdua beberapa kali. Kami melanjutkan berlari menuju halte dan menunggu bus kota yang akan menuju Colosseum. Sebuah bus datang ke arah halte, banyak orang ikut masuk bus, untungnya kami lebih cepat mendapat tempat duduk dibanding yang lain.
Colosseum lebih menarik dari apa yang selama ini berada di benakku, ramai sekali di sini. Pertunjukkan Gladiator akan dimulai 1 jam lagi, waktu yang cukup lama untuk berkeliling dan mengabadikan foto. Kami banyak mengabadikan foto dan 80% adalah foto kami sendiri. Kami meminta salah satu pengunjung memotret kami dengan telephone genggam kami, alhasil keempat pose tercipta. Pada pose kelima kami sangat terkejut karena pengunjung itu membawa kedua ponsel kami. Terjadi pertarungan sengit di antara kami dan pemuda itu. Pemuda itu tak menyerah. Kami mengejarnya dan meminta tolong pada semua orang tetapi pemuda itu berlari hampir keluar Colosseum dan kami memukulnya tepat di pintu keluar. Semua orang bersorak pada kami.
Aku lebih menikmati Gladiator ini ketimbang film ‘Catching Fire’ yang aku tonton bersama Jane dan Jessie. Walaupun aku merasa sedikit takut dengan pertunjukan Gladiator.
Seorang pemuda keluar dan menyambut kami semua dengan singanya, aku mulai merinding dan merungkup dengan memeluk kedua lututku. Aster mengambil tanganku dan menggenggamnya erat, “Tak apa.” Ia tersenyum manis lagi padaku, kali ini aku mulai luluh dan terbiasa. Aku menurunkan kedua kakiku dan tanganku yang masih digenggamnya. Dia menyuruhku bersandar di pundaknya dengan menggiring kepalaku ke pundaknya. Aku merasa sangat nyaman sekali, rasa takutku perlahan surut begitu saja.
Seorang penantang berdiri dengan gagahnya di atas kotak kayu. Seorang penantang itu harus berhasil membunuh singa atau dia yang terbunuh. Aku tak yakin akan keluar dari Colosseum ini setelah pertunjukan selesai. Mungkin sebentar lagi udara siang menuju sore akan menggiringku keluar, dan merasakannya. Aster berjanji akan mengajakku pergi bila aku tak kuat lagi menonton pertunjukkan ini. Pertunjukkan dimulai, aku hanya bergetar ketakutan.
Nyatanya sampai 2 jam tak ada juga yang terbunuh, hanya mereka luka-luka. Tapi semakin lama aku tak kuat melihatnya. Aku mengajak Aster keluar, dengan senang hati Aster keluar bersamaku. Kami menikmati udara sore yang hangat juga lagu selaras khas dari Italia yang membuat banyak orang yang lewat menari. Aku tak kuasa menahan senandung yang diciptakan oleh kedua kaki dan tanganku juga badanku. 3 perempuan kecil menarik tanganku untuk ikut menari bersama-sama. Aku sangat bahagia saat ini entah kenapa, tapi pikiran soal kedua orangtuaku tetap harus kuindahkan meski tak mengusik kebahagianku. Aku rindu mereka Tuhan.
Kami berempat menari seperti anak kecil, aku melihat Aster juga menari bersama yang lain. Ketiga perempuan kecil ini menarikku dan menyatukan tanganku dan Aster. Aster tersenyum padaku kemudian mengajakku menari, Ah tidak apakah aku harus menganggap persoalan ini sebagai kebahagiaan yang terluap? Apakah aku mencintainya? Entahlah yang penting aku saat ini sedang dimanjakan oleh sekitar. Oh Italia aku benar-benar mencintaimu kali ini.
Hari mulai gelap, kami bersiap menuju bandara internasional dan pulang ke California. Untungnya kami membawa paspor, dan pasporku selalu berada di dompetku. Anggap saja kami sampai pada pagi hari, baru saja menginjakkan kaki ke bandara California kerumunan prajurit kerajaan mengepung kedatangan kami. Aster ditarik dengan lembut dan digandeng oleh salah satu pria berpakaian serba ribet. Dan aku ditarik kasar bagai binatang yang akan dikurung. Aku meronta berusaha melepaskan genggaman mereka. Aku takut, sangat takut, bahkan tasku dibawa oleh mereka. Aku terus meronta dan berteriak, saat Aster akan menolongku mereka malah menyuntik tanganku. Apakah ini obat penenang? Bahkan mungkin untuk binatang.
Aku tersadar dari tidur tiada mimpi. Aku terbangun di jeruji? Apa? Itu tak adil, bahkan jika aku seekor binatang ini tetap tidak adil. Apa salahku hingga jeruji tebal pengap ini menjadi rumah keduaku. Aku ini hanya anak perempuan berumur 16 tahunAku meronta lagi, bahkan terus berteriak. Seorang pria berpakaian besi mendatangiku dan melempar senampan makanan juga segelas air yang keruh. Apa dia bercanda? Apa aku ini hewan? Hewan saja tak sudi menjilatkan lidahnya untuk makanan menjijikkan ini. Perutku mulai lapar, tapi aku akan menahannya hingga aku mati jika perlu tanpa mencicipi sesendok pun makanan buruk ini.
Derapan kaki dari kejauhan membuatku berharap itu adalah manusia penolongku. Lagi-lagi pria yang tadi menyambutku kasar mendatangiku, “Tahanan Jenny keluarga kerajaan ingin bicara padamu!” katanya, suaranya mulai melembut dan tak sekasar pertama kali aku bertemu dengannya. Sang Ratu dan Raja berdiri dengan wibawa. Mereka menatapku dengan air muka bersalah, “Maafkan kami nak telah menuduhmu! Sebagai permintaan maaf dari kami, kau boleh membawa berlian ini” kata Raja sambil memberikan kotak yang sama dengan yang kulihat saat Aster yang membawanya. Aku hanya termenung, “Maaf yang mulia, aku hanya ingin kebebasan, aku tak perlu berlian itu” kataku. Sang Ratu mengelusku, “Tentu itu akan terjadi, pasti” walau begitu suaranya tetap berwibawa. Aster muncul di antara mereka dan memelukku erat, “Maafkan aku Jenny, karena aku kau harus menanggung banyak masalah, maafkan aku” katanya penuh sesal. Aku hanya mengangguk.
Aster mengantarku sampai bandara internasional California lagi. Dia berpakaian seperti rakyat biasa. Aku hanya belum puas melihatnya, jadi aku berusaha menatapnya lebih dalam agar tetap terngiang di benakku. Aster juga menatapku dan mata kami bertemu di suatu titik. Aku ingin menangis melihatnya, “Jadi, hanya begini? Ini waktunya berpisah” ucapnya pelan, dari ucapannya dia seperti membendung air mata yang sangat banyak.
“Iya kau benar, sampai jumpa, semoga hidupmu akan lebih baik” kataku hendak berjalan pergi karena air mata ini bersiap untuk meledak. Aster mencegahku, “Ada yang ingin kubicarakan padamu. Ingat saat aku bertanya tentang menjalin hubungan, mari bertukar nomor” katanya gugup, tapi dia malah menepuk dahinya dan menyesal berkata demikian. Tingkahnya yang penuh kekhawatiran juga terlihat, “Tentu saja, kita akan berada di luar jangkauan, mengapa tidak akun sosial saja? Facebook, Twitter, juga Bbm jika aku sudah mendownloadnya” kataku sambil tersenyum. Aster tersenyum padaku, “Pastinya jika aku sudah mendowloadnya juga. Sebenarnya bukan itu yang akan kukatakan” katanya kembali gugup, “Aku mencintaimu, aku mohon kau akan menyetujui hubungan ini, aku akan selalu datang ke California untukmu!” serunya takut, kemudian bibir manisnya mendarat tepat di bibirku. Ciuman pertama untukku, yang takkan kulupakan. Arti dari Ciuman pertama ini adalah ya. Aku seperti melambung melintasi awan cantik dan langit biru yang indah. Aku ingin momen ini tak pernah berakhir. Ingin dia selalu berada di sampingku bila itu perlu. Sesaat kami melepaskannya.
“Ya aku mau, sangat mau! kau tau satu hal?” mungkin aku terlihat sangat girang, “Apa itu?” tanyanya lebih girang, “Ini adalah yang pertama!” bisikku padanya, “Aku juga” dia kembali berbisik dan kami berpelukan untuk salam perpisahan. Aku berlari menuju taksi, aku melambaikan tanganku tepat air mataku tak bisa terbendung lagi. Mobil ini melaju dengan cepat meninggalkan bandara menuju rumah yang kurindukan.
Aku membuka pintu yang terlihat berat, kedua manusia masih termenung kehabisan air mata. Memandangi foto beberapa bulan setelah aku lahir, “Aku pulang!” teriakku masih menangis. Mereka berdua masih tak percaya dan terperanjat seakan melihat aku ini hantu. Mereka memelukku dengan hangat aku sangat senang kembali berada dalam dekapan mereka. Yah kudengar beberapa lontaran nasehat yang kuterima. Tapi aku tetap senang aku kembali dengan tasku dan kenangan bersamaku. Apa yang akan kulakukan setelah ini.
Pagi ini aku mengajak Jane dan Jessie bermain ke rumahku, mereka membawa PR musim panas mereka juga. Aku telah menceritakan kisahku berkali-kali pada orang yang bertanya kemana aku pergi 3 hari ini. Sebenarnya yang kuceritakan hanya sedikit, dan mereka tak percaya aku pergi bersama pangeran yang hilang. Mereka pikir aku pengarang cerita yang gila dan bermimpi bertemu pangeran Antonio, aku hanya tak mengindahkannya. Mereka akan memiliki buktinya suatu saat nanti. Tapi, aku bercerita banyak pada kedua sahabatku ini, terkadang aku menunjukkan fotoku dan Aster pada mereka. Awalnya mereka pikir aku hanya bergurau. Tapi setelah banyak foto kutunjukkan pada mereka akhirnya mereka percaya. Kukira mereka akan terus beraggapan aku hanya penggemar berat pangeran Antonio.
Televisi yang sedari tadi menyala di kamar tak kami pedulikan, bahkan kami biarkan. Kami sibuk mengobrol soal pangeran Antonio. Tetapi seorang pembawa acara terkenal dari tv internasional berkata “Pangeran Antonio Sebastian yang hilang” aku terkejut dan melompat hingga aku berada tepat di depan televisi. Saat itu Aster datang dan melambaikan tangannya. Dia sangat tampan, tapi kali ini dia tak memakai wignya lagi, “Apa? Antonio memotong dan mengecat rambutnya seperti yang ada di ponselmu Jenny!” mereka berteriak sangat tak menyangka hal itu terjadi. Ternyata sedari tadi mereka belum percaya hal itu benar-benar terjadi. Biarlah mereka, konyol sekali.
“Hai Pangeran Antonio! Bagaimana kau bisa lari dari kerajaan?”
“Yah, aku tertekan kurasa.”
“Bagaimana dengan wanita yang ada di layar itu?”
“Hahaha bagaimana kau bisa mendapatkan fotonya? Dia sangat cantik bukan?”
“Ya, benar hahaha, rambutmu bisa berubah secepat kau mau? Itu sungguh menggelikan hingga kau punya sisir ajaib hahaha!”
“Yah aku harap begitu, bagaimana? Kau lebih suka yang ini?”
“Tentu saja, kau lebih terlihat tampan yang mulia, kurasa pangeran Antonio sedang jatuh cinta!”
“Apa kau bergurau? Kurasa benar juga”
“Hahaha, sekarang apa yang ingin kau katakan pada dunia sekarang ini yang mulia?”
“Aku sangat senang dapat kembali ke kerajaan dengan selamat dan membawa kenangan terindah yang bisa kudapat 3 hari kemarin. Andai tak ada Jenny Margaretha, aku tak akan bisa selamat sampai istana. Dan aku akan berjanji tak akan memakai wig bodoh itu lagi, terimakasih untuk Italia, Colosseum dan rakyat Roma yang mendukung kami. Kurasa banyak kenangan yang akan kami habiskan disana suatu saat nanti. Aku harap kau menjaga hatiku dengan baik Jenny, tunggu aku menjemputmu” Diakhiri lambaian tangan pada kamera. Air mukanya terlihat senang sekali, seluruh dunia melihat fotoku dan Aster sedang bersama di bandara internasional California dan Colosseum, untung saja bukan saat itu.
Berita sekilas ini mungkin akan diulang berkali-kali di seluruh belahan dunia, atau Aster akan sangat sibuk kesana kemari menghadiri acara Coffee Break mewah. Jane dan Jessie masih menganga di belakangku. Mereka masih tak percaya akan hal ini. Aku pura-pura tak memperhatikan televisi, aku membalikan badan dan kembali mengerjakkan PR musim panasku. Jane dan Jessie menatapku, aku hanya tersenyum. Seketika ponselku berdering banyak sekali pesan yang masuk. Mereka semua menanyakan keadaanku dan hubunganku dengan pangeran Antonio.
Aku hanya berharap benar hubungan ini akan bertahan dan kembali bersemi selamanya di Italia. Thanks Italia, Roma, Colosseum. Kenangan 3 hari itu tak akan kulupakan.
Cerpen Karangan: Fatimah Rizqi Salam. H

Thursday, 4 September 2014

Aku Terlalu Kuat Untuk Kau Sakiti

Ada seseorang yang menyentuh pundaknya Karin, dia membalikkan badannya. Dan bertapa terkejutnya dia setelah mengetahui siapa yang menyentuh pundaknya. Seseorang yang dulu pernah menghiasi harinya, Rama.
“Hay, apa kabar?” sapa Rama dengan ramah. Dia mengeluarkan senyum termanisnya untuk Karin. Senyumnya masih seperti yang seperti dulu, batin Karin. Dia diam sejenak melihat senyum itu. Jujur saja, dia sangat merindukan sosok yang di hadapannya ini. Namun, dia segera teringat apa yang telah dilakukan Rama kepadanya dulu, dia segera melupakan perasaan kangennya itu.
“Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?” tanyanya.
“Aku juga baik, dan aku kangen sama kamu. Juga.. kenangan kita yang dulu.” Jawab Rama, jujur. Namun Karin berusaha untuk mengatakan tidak, padahal hatinya mengatakan iya.
Dan dia jadi teringat tentang masa itu.
10 tahun yang lalu
Rama dan Karin, sepasang kekasih yang paling dibicarakan di SMA Garuda. Bagaimana tidak. Rama, sang kapten basket jebolan sekolah, yang selalu memimpin pertandingan basket antar SMA sekota, seprovinsi, bahkan seIndonesia hingga membawa kemenangan untuk SMA Garuda. Sedangkan Karin, ketua OSIS yang berhasil membawa nama SMA Garuda menjadi sekolah yang terfavorit, yang memiliki sejuta prestasi, dari tingkat kota hingga tingkat internasional.
Banyak yang berpendapat Rama dan Karin adalah pasangan yang serasi. Bagaimana tidak, mereka berprestasi dalam bidang mereka masing-masing. Musik favorit, tempat nongkrong favorit, makanan favorit, minuman favorit, binatang favorit, pelajaran favorit, bahkan guru favorit mereka SAMA. Yang mereka benci pun juga sama.
Ada juga yang bilang, wajahnya Karin dan Rama itu mirip. Sama-sama memiliki mata yang agak sipit. Sama-sama mempunyai lesung pipi di sebelah kiri. Alis yang tipis. Dan hidung yang mancung.
Namun, akhir-akhir ini Karin merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rama. Setiap kali Karin ingin mengajak Rama jalan-jalan, pasti ada alasan yang dibuat Rama. Sampai akhirnya suatu kejadian yang tidak mengenakan terjadi kepada Karin, ketika dia mengikuti Rama sepulang sekolah. Dia melihat Rama sedang menunggu seseorang di cafe yang tak jauh dari rumahnya Rama sendiri. Dan yang ditunggu Rama, ternyata Agnes. Kapten Cheerleaders sekolah.
“Hay sayang.” Sapa Agnes dengan manis, lalu mencium pipinya Rama. Rama membalas ciumannya Agnes.
“Hay juga sayang, bagaimana sekolahnya hari ini?” jawab Rama tak kalah manisnya, Agnes duduk di samping Rama, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Rama. Karin yang sedang melihat kejadian itu dari balik tanaman hias yang berada di tengah cafe itu panas melihatnya. Kebetulan jaraknya dengan Agnes dan Rama tak jauh. Ternyata ini yang membuat Rama berubah. Dia penasaran apa selanjutnya percakapan antara Rama dan Agnes.
“Ya begitulah. Aku masih nunggu kamu putus dari Karin.” Apa, Rama ingin memutusi aku? Batin Karin dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan Agnes tadi. Ada sesuatu yang menghantam dadanya Karin, dan itu rasanya sakit.
“Aku sudah mencari waktu yang tepat untuk memutusi dia, tapi selalu gak ada waktu. Yang sabar ya sayang.” Janji Rama dengan perkataan manisnya. Cuih, basi. Maki Karin dalam hati. Dia ingin memergoki mereka berdua.
“Iya, aku selalu…”
“Sekarang juga bisa kok.” Tak sempat Agnes melanjutkan kata-katanya, Karin sudah memotong pembicaraannya. Wajahnya terlihat tenang karena dia berusaha untuk tenang. Rama sangat terkejut melihat Karin ada di hadapannya. Sejak kapan dia disini? Tanyanya dalam hati. “Aku dari tadi memperhatikan kalian. Maaf ya Rama, aku dari sepulang sekolah tadi mengikutin kamu. Kamu boleh kok mutusin aku.” Lanjutnya dengan tenang dan berusaha tersenyum.
“Karin.” Perasaan khawatir muncul di benak Rama, dia tau sekali bahwa Karin berusaha untuk tenang.
“Selamat ya buat kalian berdua, maaf aku harus pulang lebih dulu, udah sore. Long last ya, bye.” Karin meninggalkan Rama dan Agnes dengan langkah yang cepat. Dia ingin menangis sepuasnya di kamar.
Malam harinya, Rama muncul di depan rumahnya. Sebenarnya Karin ingin menyendiri. Namun dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Rama, lelaki yang telah menyakitinya tadi sore. Dia harus kuat di hadapan Rama, sekacau apapun keadaannya sekarang ini.
“Ada apa?” tanya Karin, dia merasa risih karena Rama terlalu memerhatikan dia.
“Aku bosan dengan persamaan kita.” Jawab Rama, spontan.
“Iya, aku tau. Kamu ingin mencari wanita yang berbeda dengan kamu kan?” Rama mengangguk. “Semuanya udah jelas Ram, kita akhiri aja sekarang.” Karin meninggalkan Rama yang terdiam ke dalam rumahnya. Dia menangis sejadi-jadinya. Gampang sekali Rama bilang kalau dia sudah bosan dengan persamaan mereka. Dasar brengsek, maki Karin dalam hati.
Setelah lama menangis, dia menghapus air matanya dan berusaha tersenyum. Mulai malam ini dia memulai kehidupan yang baru setelah 2 tahun merajut kisah dengan Rama.
Dan keesokan harinya, berita putusnya Rama dan Karin tersebar luas seantero sekolah. Hampir semuanya tak percaya mendengar berita itu. Namun, setelah melihat Rama menunjukkan kemesraan dengan kekasih barunya, Agnes, dan melihat Karin yang terlihat tenang tapi sebenarnya terpuruk, barulah mereka percaya. Dan hampir semua dari mereka berpendapat bahwa Rama adalah lelaki yang brengsek dan kurang bersyukur.

Kini mereka duduk berhadapan. Tapi, suasana yang mereka ciptakan sangat hening.
“Kamu masih tinggal disini? Kerja dimana?” tanya Karin membuka suara. Rama mengangguk.
“Iya, aku sekarang jadi guru olah raga di SMA kita dulu sekaligus jadi pelatih basket buat tim provinsi. Dengar-dengar kamu kerja di luar negeri, dimana?”
“Ya, di USA tepatnya. Seperti mimpiku, aku bekerja di VOA.”
“Selamat!” ucap Rama tulus, Karin tersenyum. Hening lagi di antara mereka. “Karin!” panggil Rama, Karin menatap Rama. “Mengapa kamu ke tempat ini, padahal tempat ini tempat yang paling menyakitkan buatmu?” tanya Rama, Karin malah menjawabnya dengan tawa yang membuatnya bingung.
“Kau tidak tau, aku terlalu kuat untuk kau sakiti. Jadi tempat ini bukan tempat yang menyakitkan untukku. Benar sih, aku sakit hati disini karena aku memergoki kamu selingkuh sama Agnes disini. Tapi, aku seratus persen menerimanya kok. Kamu tenang aja, gak usah merasa bersalah.” Karin menjelaskan. Namun Rama hanya diam.
“Aku ingin kembali kita menjadi yang seperti dulu, aku menyesal telah menyakitimu. Tolong terimalah aku lagi.” Tiba-tiba suaranya Rama mengagetkan Karin. Tapi, Karin tau harus menjawab apa.
“Maaf, kita tidak bisa seperti dulu lagi. Aku tidak mau disakiti dua kali.” Karin hendak beranjak pergi, namun Rama menahannya.
“Please, aku menyesal lebih memilih Agnes dari kamu. Agnes tak lebih baik dari kamu.”
“Sekali lagi maaf, aku tidak bisa.” Dengan cepat Karin meninggalkan Rama. Maaf Rama, sebenarnya aku masih menyayangimu, tapi aku tidak ingin kau menyakitiku lagi, cukup sekali saja, dalam hatinya.
Karin terpuruk lagi untuk kedua kalinya. Sementara Rama, dia merasa rapuh dan sangat menyesal karena perbuatannya.
Cerpen Karangan: Nunuy Majdiah

Bayangan Matahari

Bayangan Matahari
Hitam..
Pantulan atau cerminan?
Mereka bermakna dalam,
Mereka bayangan..
Matahari harusnya berbayang
Jadi, ‘kan kuberi satu
Cukup untuk keberadaanmu
Satu yang lebih darimu
Aku tertegun membaca secarik kertas yang disematkan bersama sebuah kado ulang tahun untukku. Aku mencoba menggeser tempat dudukku mungkin agar datang sebongkah wahyu menggelayut di otakku. Maknanya? Aku sama sekali tidak tahu apa maknanya.. jujur saja, aku bodoh dalam hal sastra dan adikku ini suka sekali mengorek-ngorek kelemahanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Jadi?” Ara mengetukkan ujung jari telunjuknya ke atas meja perpus di depanku. Mendengar pertanyaannya, aku hanya bisa nyengir kuda. Jadi aku sedang ada di ruang interogasi atau di ruang perpus? Kenapa adikku ini suka sekali membuat sidang dadakan di sini?
“Ehehehe..” Aku tersenyum hambar, Ara melotot. Baiklah-baiklah, aku memang tidak tau sama sekali apa arti dari puisinya. “Bayangan? Memangnya kenapa dengan bayangan? Apa yang diberi satu? Bayangan? Apa aku sudah mati? Lalu apa hubungannya dengan matahari? Kenapa bukan bintang atau bulan?” aku nyerocos mengeluarkan isi pikiranku yang membuat otakku jadi tambah dangkal.
“Kakak! Kan sudah kubilang pikirkan baik-baik artinya! Percuma aku ngasih kado kakak kalau kakak nggak tau arti dari suratnya!” Ara menghentakkan kakinya dan duduk dengan muka terlipat. Sudah kuduga ini akan terjadi. Tidak masalah teriak di perpus, toh gak ada orang yang dengar, setidaknya hampir gak ada. Anak di sudut perpus melirik kami sekilas dari balik buku yang dibacanya.
Aku diam saja. Tidak tau apa yang sebaiknya kulakukan atau katakan pada adikku yang suka cemberut ini. Aku ‘kan bukan sastrawan atau sastrawati, jadi kenapa aku harus menerjemahkan puisinya? Dipajang di dinding kamar ‘kan bisa … sebagai pajangan tentunya. Diabadikan, dilestarikan, ditemurunkan, dimakan diminum.. nah, nah.. kalo mikirin soal makanan, otakku mendadak encer saja.
Aku berdiri dari bangku perpus dan menyeret Ara keluar ruangan.
“Hei, hei, penculikan! Mau kemana nih?” Ara mencoba berontak dari genggamanku tapi tentu saja tenagaku tak selemah otakku. Kami berpapasan dengan beberapa murid lain selepas keluar ruangan dan hanya ber-say hai, lalu buru-buru ke kantin sebelum adikku ini semakin gondok. Beberapa cewek kenalan menyapaku tapi coba tak kuhiraukan, bisa alasan gak denger, kan? Jadilah kami pusat perhatian karena adikku tak mau berhenti membuka mulutnya, terus bertanya pertanyaan yang sama ‘kemana’. Adik? Yah, dari tadi aku berkata bahwa dia adikku, dia memang adikku, adik angkatku. Setidaknya itu salah satu hal yang membuat kami yang notabene-nya sebaya ini jadi pusat perhatian, karena dia sebenarnya teman sekelasku.

“Yosh.. mungkin kalo mikir sambil makan akan sedikit membuka jaringan otakku yang sebenernya jenius..” aku manggut-manggut sambil memakan bakso pesananku. Ara menatapku dengan mata menghujat. Mungkin dia ingin berkata ‘otakmu gak ada benernya udah dari sono’. Tapi, aku mencoba tidak mempedulikannya. “Menurutku..” lanjutku, “Kau ingin menjadi satu bintang yang lebih besar dari matahari.. Namaku ‘kan Surya, jadi pastilah matahari dalam puisimu itu maksudnya adalah aku..” aku mencoba mereka ulang puisi Ara dalam otakku. Kenapa tidak dari kemarin aku melakukan ini? Kurasa segala hal apabila dihubungkan dengan makanan akan terasa lebih enak. Eh, mudah.
Ara menatapku tak percaya, ia berhenti makan pangsitnya. “Bener..” ia ber-applause ria layaknya sedang menonton konser drama musikal kesukaannya. Aku tersenyum hambar sambil berharap ia tidak bertanya lebih jauh lagi. “Kalau begitu nanti pulangnya aku mau dibonceng Kak Surya..” dia tersenyum dengan sangat lebar, seperti anak kecil yang diberi balon oleh ibunya. Aku meneruskan makan sambil mengangguk. Syukurlah..
Raut wajah Ara mendadak berubah. Ia mengaduk-aduk pangsit di dalam mangkoknya. “Kak..” ia memanggilku lirih, aku menoleh. “.. kalau nanti aku udah nggak ada..”
BRAAK!
Aku menggebrak meja hingga membuat murid lain di sekeliling meja kami menoleh padaku. Ara menatapku dengan kaget. Aku menatap Ara dengan kening berkerut. Habis kesabaranku jika Ara mulai mengatakan hal yang tidak wajar seperti itu. Sudah seminggu ini dia mencoba mengatakan sesuatu semacam itu dan selalu kuputus di tengah-tengah. Aku tidak suka memikirkan mengenai kematian, terlebih jika itu Ara.
Aku segera duduk kembali dan berusaha meredam emosiku. Apa sih yang sebenarnya tengah bertengger di pikiran Ara? Dia kok jadi melankolis begini? Aku mengalihkan pandangan dari Ara, mencoba menghindari tatapan emas Ara. Tatapan yang mampu membuatku luluh dalam sekejap waktu dan mengaduk-aduk emosiku. Dengan melihatnya, aku tidak tau apa yang kurasa hingga ia mampu menyihirku sejak pertama kali bertemu. Aku menyayanginya, tapi ini bukan cinta yang selayaknya pemuda. Hanya sayang dari seorang kakak kepada adiknya dan ia dengan mudah mampu menjelma jadi hal yang tak kusadari telah menempuh dimensi yang kubentengi.
Sehari setelah ayahku tiada, Ara hadir dengan kehangatan manja yang menaungi duka. Ia diasuh ibu dari tetangga yang juga meninggal ketika bersama Ayah dalam suatu insiden kecelakaan yang merenggut 5 orang nyawa. Di dalamnya. Ayahku dan kedua orangtuanya. Waktu itu kami sebaya, sama-sama berumur 7 tahun dan tak mengerti apa-apa. Tepat 10 tahun yang lalu, pada tanggal ini. Dan puncaknya 7 hari yang lalu, Ara mulai mengigau, kadang ia melamun, dan mulai berbicara tentang kematian. Aku tak bisa menjamah apa yang dipikirannya, tapi aku merasa aku berada semakin jauh darinya. Tak lagi bersama ruhnya. Hanya raganya.
Aku tak mau kehilangannya.

Aku menangis dan meraung sejadinya. Aku tak bisa mengendalikan emosiku di tengah kegelapan yang menyelimutiku. Aku tak bisa melihat apapun, aku tak bisa melihat Ara. Aku tak bisa melihat ibuku yang menangis di sampingku. Yang kudengar hanya suara. Suara tanpa rupa, gelap gulita, seakan semua yang di dunia ini hanya berisi bayangan maya yang hanya bisa kuraba.

Aku memacu motorku dengan Ara duduk tepat di belakangku. Sesuai janji, aku memboncengnya sepulang sekolah. Ada perasaan aneh menyelimutiku sejak kejadian di kantin, di kelas aku tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran, tak juga bisa menerjemahkan perasaan yang meremas kebimbangan, membuat kegaduhan pikiran, dan merampas ketenangan. Ara memeluk pinggangku.
Aku mencoba berkonsentrasi mengemudi, menepis segala kekalutan tak beralasan yang mengejar setiap sudut nyaman.
“Kak..” Ara berbisik di telingaku. Aku menoleh sekilas padanya.
“Ya?” aku menjawab sekedarnya.
“Aku ..” ia terdengar ragu,
“Jangan mengatakan mengenai kematian..” ukh! Aku merasa dadaku nyeri ketika mengatakannya. Aku tidak suka ini, aku berada di luar zona nyamanku. Aku mulai gelisah. Ara tertawa kecil, hampir tak tertangkap indera pendengaranku.
“Aku menyayangi kakak..” ia berkata tegas, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, aku juga mencintai Suryaku..”
Sebuah mini bus keluar dari jalurnya. Melaju kencang, mengarah kepada mobil di depan kami.
CKIIITT !!!

Aku meraba mataku. Ada. Tidak berkurang. Tapi kenapa aku masih tidak bisa melihat apa-apa? Dimana cahayanya? Apakah matahari telah berhenti bersinar? Aku masih terus menangis. Berharap tangisanku telah cukup menyedihkan untuk meminta Tuhan agar memberikan seberkas cahaya padaku. Aku takut terhimpit di dalam kegelapan ini, dadaku sesak.
“Sudah, Surya.. jangan menangis..” ibu mencoba menenangkanku di sela tangisannya. Tak peduli dengan suara itu, aku berusaha mencari cahayaku sendiri, aku tak bisa tenang. Tiba-tiba, bayangan seseorang berkelebat di otakku.
“Ara.. mana Ara?”

“Apa kau belum cukup membuatku bersyukur atas kehadiranmu, kini kau buat aku harus berhutang budi padamu? Kau bercanda?” aku menggenggam erat bunga yang belum kutaburkan di atas makam Ara. “Tidak cukupkah aku membuatmu seperti ini dan kau kini memberikan matamu padaku yang tidak berguna ini?” aku menangis perlahan. Aku menyesal. Menyesal mengapa waktu itu aku hanya terpaku melihat mini bus itu menabrak mobil di depanku, mengapa waktu itu aku tidak menghindari tabrakan itu, malah mengerem tanpa sadar tapi tak beranjak dari tempatku. Menatap bongkahan dari tabrakan yang dengan cepat bergerak ke arah kami, lalu merenggut mata dan Araku.
Bodohnya aku! Aku meremas kepalaku yang dibalut perban karena terluka, tapi ibu berusaha mencegahnya. “Kenapa aku tidak ikut mati waktu itu? kenapa?” aku bertanya setengah membentak kepada ibuku yang masih menangis. Ia menggeleng dan memelukku. Memeluk segala kerancuan hatiku. Aku tak bisa berhenti menangis, sama seperti ibuku aku juga tak mampu menahan gejolak kesedihanku. Aku kehilangan lagi mutiara yang kukasihi, setelah ayah, Ara, lalu siapa lagi?
Aku balas memeluk ibuku yang sesenggukan. Aku juga tahu Ara sangat berarti bagi ibuku, Ara selalu menjadi bunga segar dalam keluarga kami, tingkah manjanya memberi kehangatan pada kami dan tutur katanya mampu menarik canda tawa kami. Ia pelita kami, setelah Ayah pergi. Ia harta kami, yang seharusnya kujaga sampai mati.. bukan membiarkannya mati begini.
Srek..
Ibu melepas pelukanku dan menyerahkan sebuah kertas lusuh yang hampir tenggelam dirubung darah. Aku tersentak. Aku mengambil kertas itu.
“Ibu menemukannya di saku celanamu yang kau pakai sewaktu terjadi kecelakaan..” aku tak percaya. Ini tulisan Ara. Jadi, kapan dia menaruhnya di sana? Aku membuka dan mulai membaca tulisan itu. Tertegun. Entah untuk ke berapa aku merasa terenyuh. Apalagi ini? Ibu tersenyum padaku walau air mata terus membanjiri pipinya.
‘Kakak.. setidaknya jikalau aku tak ada, apabila bagian diriku masih tersisa, aku ingin itu menjadi milik kakak.. biarlah walau aku tiada, tapi bagian itu masih tersisa untuk bersama kakak melihat dunia. Jika kakak adalah matahari itu, akulah bintang kedua yang lebih besar dari kakak.. yang bisa memberikan bayangan pada kakak, sekalipun itu berarti aku akan lebih cepat mati karena cahayaku lebih terang, asal kakak tetap bersinar.. berharap, kakak ‘kan lebih bersinar.. aku mencintai kakak’
Cerpen Karangan: Raju (Ratna Juwita)

Pelangi di Mata Senja

‘Senja itu apa sih kak?’
‘Senja itu lembayung.. langit indah dikala sore, tatanan surya kala memasuki belahan lain bumi. Senja itu indah.. seperti dirimu…’
“Senja.. Seenjaaa!!” aku tersentak kaget mendengar teriakan itu. Tepat di telingaku. Aku menoleh dan melotot ke arah Ridwan yang menatapku jengkel.
“Apa sih?! Jangan teriak-teriak kenapa?!” pintaku kesal. Temanku yang satu ini memang sangat menyebalkan! Selalu saja berteriak-teriak di telinga orang seperti macan yang kelaparan.
Yang dibentak malah nyengir kuda, lalu dia duduk di sebelahku. “Maaf-maaf! Jangan marah gitu dong! Aku kan hanya mau membicarakan sebuah berita baru! Lagipula, kamu juga, sih kerjaannya ngelamun mulu!” katanya dengan mata berbinar, seolah penuh dengan penyesalan yang diapit kemunafikan!
“Berita apa?” tanyaku tanpa minat.
“Ada anak baru! Masuk kelas ini!” matanya bersinar menatapku.
Aku menghembuskan nafas, “Dia cewek?” tebakku tanpa memandangnya.
“He-em!” dia mengangguk cepat.
“Cantik?” tebakku lagi
“Ya!”
“Putih?”
“Siipp!!”
“Rambutnya panjang?”
“Oke!”
“Matanya indah?”
“Banget!”
“Bodinya…” kata-kataku menggantung. Tidak mau meneruskanya.
“Keren dan.. Emmhh!” aku membekap mulutnya dengan cepat, sebelum dia mengatakan kata-kata yang tidak ingin kudengar.
“Kalau itu, mah.. tipe cewek idamanmu, bodoh!” aku meliriknya lalu mengambil buku dari dalam tasku dengan menggunakan tangan kananku.
Aku tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Sedikitpun tidak. Ini memuakkan. Aku terbayang pada kakakku lagi, ia meninggal setahun lalu padahal ialah pengganti ibuku karena bahkan aku tak pernah memanggil seorang pun di dunia ini dengan panggilan ‘ibu’. Orang bernama ‘ibu’ itu sudah tiada bahkan ketika aku baru bisa membuat gaduh rumah dengan tangisanku.
“Anak-anak! Ayo diam!” tiba-tiba, guru agamaku telah berdiri di depan kelas. Di sampingnya, berdiri seorang cewek putih, berambut panjang dan entah aku bisa mengatakan bahwa matanya itu indah atau tidak.
“Mmff.. mmff!” aku baru menyadari bahwa tanganku masih berada di mulut Ridwan. Dia melotot ke arahku dengan muka merah.
“Oh.. sorry! gak nyadar!” aku langsung melepas tanganku dari mulutnya.
”Eh.. dia cantik, kan?” dia melirik ke arah gadis di depan kelas, haluannya berubah.
“Jangan memandangku seperti itu! Jijik tau!” aku tersenyum mengejek padanya.
“Ayo, silahkan perkenalkan dirimu!” kata Bu Erni kepada gadis itu. Yang disuruh melangkah malu-malu ke depan.
“Nama saya..” dia berhenti sejenak dan memandang berleliling. Entah ini hanya perasaanku atau dia memang melihatku lebih lama daripada yang lainnya?, “Nama saya Pelangi!”
DEG!! Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Aku menunduk tak percaya. Aku tau dia mengatakan hal lain lagi, tapi aku tidak mendengarnya. Antara sadar dan tidak, telingaku seperti dibuat tuli olehnya. Sesak. Dadaku terasa sangat sesak!
Memoriku mulai berulah. Kepalaku pening. Bayangan masa lalu tentang kakak mulai merangkak masuk lewat kilasan hitam di depan mataku. Semakin lama, tergambar jelas sosok kakak yang sangat kusayangi. Kakakku Pelangi. Sedetik kemudian, cerebellum-ku memprotes keseimbangan tubuhku.

‘Kakak, akan baik-baik saja..’ kata kakak pelan, menenggelamkanku pada mata teduhnya.
‘Kakak berjanji?’ tanyaku terisak. Aku menggenggam tangannya. Dia tersenyum lemah.
‘Kakak.. boleh aku tanya sesuatu?’ aku menatap matanya.
‘Apa?’ Balasnya.
‘Senja itu apa sih, kak?’ matanya menerawang.
“Senja!! Senjaa!!”
“Ngh..” aku mendesah pelan dan mencoba untuk membuka mataku yang terasa berat. Aku menatap lurus ke arah Ridwan yang memandangku dengan cemas.
Seminggu sudah sejak kejadian itu. Aku duduk termenung di sudut taman. Jujur saja, sejak kejadian itu aku trauma bertemu dengannya. Aku juga tidak tau apa yang telah terjadi padaku. Walau terlihat tanpa alasan yang jelas, tetap saja aku gelisah tiap kali melihatnya. Semakin hari, ia semakin mengingatkanku pada kakakku. Menyebalkan! Ah.. Aku mengacak-acak rambutku dan menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Senja!” sapanya sembari tersenyum. Aku mendongak dan memutar bola mataku, bersiap untuk pergi dari tempat ini.
“Eh, tunggu jangan pergi! Aku mengganggumu ya?”
“Sangat!” jawabku cepat.
“Maaf ya! Kenapa sih, kau sepertinya tidak menyukaiku?”
“Aku bukan salah satu laki-laki di sekolah ini yang memujamu!” jawabku ketus.
“Oh ya? Aku tidak merasa seperti itu!” ucapnya pelan.
Aku menghembuskan nafas.
“Senja..” ia memanggil ragu. ”Aku tau kau tidak menyukaiku karena namaku, kan?” dia menatapku sedih.
“Lupakan! Pasti Ridwan yang telah memberitahukanmu kan? Sudahlah! Malas aku disini bersamamu!” aku berjalan menjauh darinya dengan langkah cepat.
Bel pulang sekolah berdentang dengan keras. Aku sedang marahan dengan Ridwan. Jadi, ia tidak duduk di sebelahku sekarang. Tentu saja semua ini karena gadis itu.
Aku berjalan keluar kelas, namun lagi-lagi langkahku terhenti. Memang, ini karena gadis itu tapi, kali ini lain perkaranya karena kulihat dia sedang diseret oleh 3 orang siswi yang selalu menyebut diri mereka itu cantik dan selalu membuatku muntah dengan gaya mereka yang menurutku norak! Sekarang, apa yang sedang mereka rencanakan dengan membawa gadis itu bersama mereka?
Ah, sejak kapan aku menjadi begitu peduli pada gadis itu? Itu bukan urusanku! Tapi, kakiku sama sekali tidak bisa kuajak untuk menjauh dari sini. Sesenti pun aku tak mampu berpindah dari tempatku berdiri, sedangkan mataku terus memotret gerakan mereka setiap inci.
“Ehm..” aku berdehem keras begitu aku sampai di depan pintu gudang. Tentu saja aku melakukannya dengan sengaja.
“Se.. Senja?!” mereka bertiga dengan kompak membelalakkan mata.
“Mmm.. para gadis yang menjijikkan! Mau tidak apabila perbuatan yang kalian lakukan ini diketahui oleh kepala sekolah? Hukuman apa ya, yang pantas diberikan kepada siswi yang suka melakukan kekerasan?” aku menatap mereka dengan senyum menyindir. Tanganku bergerak perlahan ke dalam saku celana. Mereka menatapku ketakutan, “Oya.. satu lagi! Aku punya bukti rekaman soal perbuatan kalian barusan, akan kutunjukkan dengan senang hati apabila kalian menginginkannya!”
Aku menatap mereka tenang dan hanya membiarkan mereka lewat saat mereka berlari keluar gudang dengan ketakutan. Aku tersenyum lega. Entah kenapa aku bisa berada di sini, kakiku terkadang memang bergerak sendiri.
“Senja, terimakasih!” terdengar suaranya yang lemah.
“Bukan untuk menolongmu!” aku menjawab ucapannya tanpa menoleh ke arahnya.

“Ridwan?” panggilku. Dia menoleh dengan seulas senyum tipis di bibirnya.
“Hai, Nja!” balasnya singkat. Aku duduk di depannya. Dia memegang sebuah surat ber-amplop putih di tangannya.
“Mau apa ke rumahku? Kalau minta maaf aku juga..”
“Nja..” dia memotong ucapanku, lalu dia menatapku dengan sedih. “Pelangi..”
“Jangan nama itu!” aku ganti memotong ucapannya. Aku mulai gelisah.
“Yah.. dia..” kata-katanya menggantung. Aku semakin gelisah melihat gelagatnya yang tidak biasa itu.
“Kau menemukannya di gudang?” aku mencoba untuk menebak inti pembicaraanya.
“Ya! Bukan itu!” dia benar-benar membuatku mati penasaran.
“Ada apa?” tanyakun tak sabar.
“Ini!” dia menyerahkan amplop yang sedari tadi digenggamnya padaku, tanpa banyak bicara kubuka dan kubaca surat di dalamnya.
‘Untuk Senja,
Maaf telah membuatmu kembali teringat akan masa lalumu. Tapi, bukankah itu juga bukan kehendakku? Aku akan pergi! Aku meminta untuk sekolah di Singapura saja. Maaf untuk seminggu yang mengganggumu. Kukira, kita akan bisa berteman baik saat pertama kali aku melihatmu. Tapi, kau membenciku.
Tidak apa-apa! Aku tidak menyalahkanmu. Dan untuk kakakkmu, aku turut berduka.
Pelangi’
Aku menatap surat singkat itu dengan tangan gemetar. Aku tidak bisa menahan kegelisahanku setelah membaca isi surat itu.
“Dia pergi, kan? Kau pasti tidak mendengarnya tadi pagi! Kau terlalu cuek padanya! Sekarang dia pergi, bagaimana? kau puas?” aku hanya menunduk mendengar ucapannya, “Kupikir kau akan senang dengan kedatanganya karena dengan begitu kau akan punya kesempatan untuk menjaga 1 pelangi lagi!”
Aku masih menunduk tak percaya. Tubuhku semakin gemetar. Kau akan punya kesempatan untuk menjaga 1 pelangi lagi! Kata-kata Ridwan itu terus terngiang di telingaku. Panas aku mendengarnya.
“Tapi, sekarang kau membuang kesempatan itu! Apa yang seharusnya bisa kau lindungi malah kau campakkan! Kau telah kehilangan semuanya sekarang!” Ridwan mengatakannya dengan penuh penekanan pada setiap kata-katanya. Aku menutup wajahku, butiran keringat dingin telah memenuhi seluruh dahiku.
“Jika..” dia melanjutkan. Aku sudah tidak sanggup mendengarkan kalimat selanjutnya. Rasa apa ini? Rasa yang perlahan-lahan menyusup ke dalam hatiku. “Dia baru berangkat! Apa kau masih ingin meraih pelangimu?” setelah itu dia menyebutkan bandara dan juga jadwal keberangkatan pesawatnya. Perlahan, aku membuka kedua tanganku dan menatap wajahnya yang menyunggingkan senyum. “Kejarlah langitmu!” imbuhnya.

Ya, aku menyukainya! Sejak pertama kali aku menatap matanya. Akan tetapi, mengapa selama ini aku sama sekali tak menyadarinya? Pikiran dan hatiku telah tertutup oleh kebencian yang tak beralasan hanya karena namanya yang mengingatkanku pada kakakku. Aku bodoh! Benar-benar bodoh! Dan sekarang, aku akan kehilanganya apabila aku tidak cepat-cepat sampai di bandara untuk mencegahnya.
Aku berlari secepat yang kubisa, tepat di depan bandara itu aku berhenti. Langit berubah kelabu dan hujan turun dengan deras. Aku berlari masuk. Aku baru sadar, harus kemanakah aku mencarinya? Aku melihat jam di tanganku. Kurang 5 menit lagi. Oh, Tuhan! Dimana dia?
Aku tidak bisa menemukannya di antara orang-orang berkoper besar ini. Bodohnya diriku! Mengapa aku tadi berlari seakan aku masih memiliki harapan? Tidakkah aku berpikir bahwa ia takkan kembali? Aku benar-benar menyesal telah menyia-nyiakannya.
Pandangku buram dan otot kakiku sepertinya sudah tak mampu lagi menopang berat tubuhku. Aku terduduk. Tak kupedulikan pandangan orang-orang yang menatapku aneh. Air mataku mulai menetes dengan perlahan. Tiba-tiba, kudengar bunyi pesawat yang lepas landas. Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Payah! Aku memukul lantai dengan kepalan tanganku. Tubuhku berguncang karena tangis.
Semakin deras air mataku mengalir. Aku tak kuasa menahannya dan dadaku mulai terasa sesak. Aku kehilangan semuanya sekarang! Disaat aku bisa mendapatkanya aku membuangnya! Dan disaat aku membutuhkanya, dia berbalik pergi! Selamanya!
Aku berdiri dengan langkah gontai. Aku berbalik dan melangkah keluar bandara. Aku menatap sayu pada hujan. Selesai sudah! Semua telah selesai disaat aku baru menyadarinya!
“Senja?” panggil orang yang baru keluar dari dalam sebuah taksi heran, “Mengapa kau ada disini?” dia menatapku bingung. Aku menatapnya tak percaya. Aku sama sekali tak percaya pada mataku sendiri.
“Pelangi?” aku ganti memanggilnya tak percaya.
“Hei! Ada apa denganmu?” dia bertanya dengan nada cemas melihat keadaanku. Dalam pikiranku terjadi kegaduhan rumit. Padahal, aku baru saja menangis karenanya tapi, sekarang dia sedang berdiri menatapku.
“Pelangi..” kali ini, suaraku terdengar bergetar. “Jangan, kumohon jangan..” aku menggigit bibirku. “Jangan pergi! Kumohon jangan pergi!” aku mengeraskan suaraku hingga membuatnya terkejut. ”Ya, aku pikir aku membencimu! Tapi, ternyata aku salah! Ternyata.. aku.. aku.. menyukaimu!”
Dia menatapku tak percaya. “Tapi, tapi aku..”
Bagiku itu adalah sebuah jawaban. ‘tapi’-nya itu telah membuatku sadar sekaligus membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku tak memandang matanya untuk sesaat.
“Hm..” aku memaksakan untuk tersenyum, “Ya! Itu pantas untukku! Aku benar-benar orang yang bodoh! Pergilah! Aku tidak berhak untuk memintamu kembali setelah aku mencampakkanmu!” aku menangis lagi. Aku baru sadar betapa cengengnya aku. ”Maaf..” Bibirku semakin bergetar, ”Aku, benar-benar menyesal!”
Aku berbalik. Melangkah lagi dengan langkah pelan dan mengubur semua kenangan semu. Hujan berhenti turun. Harapanku telah runtuh, luluh jadi debu. Aku merasakan sakit yang luar biasa pedih. Bagus. Aku kehilangan semuanya sekarang.
“Kau mau pergi?” suara itu terdengar sedih. Aku menoleh pelan. “Pesawatnya bahkan sudah meninggalkanku.. Kini kau?” air matanya mulai turun perlahan. “Aku kan belum selesai bicara, bodoh!” ia terisak.
Jantungku berdebar keras.
“Jangan campakkan aku lagi!” dia mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Aku sejenak ragu.
“Kau mau pulang, Pelangi? Bersamaku?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari dalam mulutku, aku mengulurkan tangan padanya.
“Mmm!” dia mengangguk, “Senja,” ia memanggil.
“Ya?”
“Menurutmu pelangi itu apa?” aku kaget mendengarnya. Pertanyaan bodoh yang sama denganku dulu pada kakakku.
“Pelangi, ya? Mm..” aku sengaja menggantungkan kalimatku, “Di mataku..” lanjutku, “Pelangi itu biasan cahaya yang sangat indah! Bahkan, ciptaan terindah yang pernah kulihat! Tapi, pelangi itu akan terlihat lebih indah lagi apabila ia bersama dengan senja..”
Dia memandangku. Aku tak mengerti apa arti tatapanya itu. Tetapi, sedetik kemudian, dia menyambut uluran tanganku.
Cerpen Karangan: Raju (Ratna Juwita)

Todoke

Pertama kali aku berada di kelas 11 ini, aku merasa minder mengingat kelas yang kutempati saat ini merupakan kelas kedua dengan tingkat saingan terberat di antara kelas 11 lainnya. Di kelas inilah —lebih tepatnya kelas 11-5— aku pertama kali melihatnya. Seorang siswi yang menurutku merupakan siswi terjenius yang pernah aku temui.
Ia bernama Fuyuki Shiori. Seorang siswi yang aktif dan mudah bersosialisasi di sekolah, jenius, ramah, serta memiliki banyak sekali teman. Ia merupakan siswi yang terpandang dan dikenal oleh banyak guru dikarenakan prestasinya. Banyak siswa maupun siswi yang senang untuk berbincang-bincang dengan dirinya. Ia sangat baik dan ramah sekali kepada semua orang yang dikenalnya termasuk diriku, Hikari Rinka.
Awalnya, aku tidak begitu menyadari keberadaan Shiori di kelas ini. Jarak antara tempat dudukku dengan tempat duduknya lumayan jauh. Aku mulai berinteraksi dengan dirinya saat aku sadar bahwa aku sering kali mendapati dirinya tengah memperhatikanku. Tidak lama, hanya saja tatapannya saat melihatku itu… rasanya berbeda.
Selain keanehan dari tatapannya, aku menemukan keanehan lainnya pada saat pertama kali kami berbicara, Shiori langsung memanggilku dengan nama pemberian orangtuaku yaitu ‘Rinka’. Sementara, aku pertama kali memanggilnya dengan nama marganya, ‘Fuyuki’.
“Nee, Rinka,” panggil Shiori saat jam pelajaran olahraga, “kenapa Rinka suka sekali membawa sapu tangan sih?”
Aku mengikuti arah lirikan mata Shiori. Sapu tangan putih yang kugenggam sedari tadi. “Etto.. aku hanya sudah terbiasa seperti ini sejak SMP. Memangnya ada apa, Fuyuki-san?”
Shiori hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis kepadaku, “Iie, nandemonai.”
Aku tidak terlalu memperdulikannya saat itu. Toh, aku dan Shiori tidak terlalu dekat. Namun, ketika kami sedang menjalani ujian tengah semester, Shiori memintaku untuk memanggilnya dengan nama pemberian orangtuanya.
“Rinka, aku juga mau dipanggil dengan namaku,” ujarnya yang sedang berdiri koridor kelas, “seperti Yuki yang dipanggil Yukicchi olehmu atau Kurumi yang dipanggil Micchan.”
Aku mengerjapkan kedua mataku beberapa kali saat mendengarnya, “Uhm, rasanya agak sulit.”
“Kenapa?” tanya Shiori penasaran. Mungkin ia tidak terima atas jawabanku tadi.
“Karena Fuyuki-san adalah orang yang aku hormati sekaligus aku kagumi juga. Rasanya agak aneh jika memanggil Fuyuki-san dengan nama kecil Fuyuki-san” jawabku dikala itu. Akan tetapi, melihat ekspresi kecewa terlihat jelas di wajahnya membuatku berpikir ulang.
Keesokan harinya, di jam istirahat pada pertengahan ujian aku mencoba untuk memanggil Shiori dengan nama kecilnya. Saat itu, aku sedang berlajar berdua dengan Shiori di depan perpustakaan untuk mata ujian berikutnya yaitu Teknologi Ilmu Komputer.
“Uhm,” pada awalnya aku merasa ragu-ragu, “Shiori-chan?”
Sedetik kemudian, aku melihat kedua bola matanya berbinar-binar dan senyumannya merekah.
“Un! Rinka-chan,” ia membalasnya dengan memanggil namaku. Setelah itu, kami tertawa bersama. Aku dan Shiori pun mulai bercerita —mengabaikan buku Ilmu Komputer kami.
Semenjak kejadian itu, baik aku dan Shiori mulai dekat satu sama lain. Aku terus merasa senang dan nyaman bisa berada di dekat Shiori. Tanpa aku sadari, sisi egoisku mulai keluar. Terkadang, aku sedih ketika melihat Shiori mengabaikanku dan memilih untuk bersama teman-teman yang lain.
Aku mulai berharap lebih pada Shiori. Aku menyadari bahwa sosok Shiori mengingatkanku pada dua orang sahabat baikku, Saki dan Aida.
“Mungkin aku ingin bisa menjadi sahabatnya Shiori” gumamku pada diriku sendiri.
Shiori sangat baik sekali padaku. Terkadang, ia memberiku perhatian yang belum ia pernah tunjukan kepada yang lainnya. Aku merasa sangat bersyukur karena bisa mendapat perhatiannya itu.
Namun, di sisi lain aku tidak menyukainya. Ketika Shiori menunjukan kebaikannya kepadaku, aku pasti menjadi egois. Bodoh dan kekanakkan sekali aku disaat egois seperti itu. Jadi beberapa kali, aku berniat untuk menjauhi Shiori agar aku tidak menjadi tergantung padanya. Lagi pula, aku tidak mengetahui apa sebenarnya diriku ini di mata Shiori.
Pelajaran pertama pada hari Kamis adalah olahraga. Seluruh murid dari kelasku sudah bekumpul di lapangan. Hari ini kami berlatih untuk lompat di atas peti lompat. Dari awal pelajaran ini dimulai, aku sudah menjaga jarakku dengan Shiori. Karena terlalu fokus memperhatikan latihan yang lainnya, aku tidak sadar kalau Shiori mendekatiku.
“Rinka, bisa bantu aku gak? Aku mau latihan kayang” pintanya. Aku hanya mengangguk pelan tanpa menjawab sepatah kata pun.
Seusai mencoba gerakan kayang, Shiori berdiri dan menatapku lembut, “Arigatou, Rinka-chan!”
Ia terus mengamatiku yang terdiam —tidak merespon perkataannya. Karena tidak nyaman diperhatikan seperti itu terus, aku pun mengangguk kecil kemudian pergi meninggalkannya.
Shiori menyadari keanehanku itu. Maka dari itu, pada jam setelah olahraga—yang kebetulan kosong karena sensei yang mengajar sedang berhalangan hadir —ia mendekatiku.
“Rinka kenapa?” tanya Shiori. Sepertinya ia sangat penasaran, ia bahkan menghampiri mejaku yang berada di pojok belakang kelas.
“Daijoubu, Shiori-chan.” Balasku singkat.
“Bohong,” sahut Shiori cepat, “ada apa?”
Aku menundukkan wajahku —tidak berani menatapnya. Sadar bahwa aku tidak akan mengucapkan sepatah kata pun, akhirnya Shiori menarik bangku yang ada di sebelahku dan duduk disana. “Rinka,” panggilnya ulang.
“Nee, Shiori-chan,” aku menghela nafas sejenak, “mungkin seharusnya semua ini tidak pernah ada ya.”
BRAKK
Aku langsung mendengar Shiori memukul mejaku pelan. “Kenapa Rinka bilang seperti itu? Aku gak suka mendengarnya.”
Aku mengangkat wajahku untuk memandang kedua matanya yang terlihat marah padaku.
“Habisnya…”
Kata-kataku terputus. Aku tidak tahu harus mengatakan apa sebagai alasannya.
“Rinka, bagiku semua ini seperti keajaiban. Aku hampir tidak menyangka semua ini bisa terjadi.” Kata Shiori lirih. Aku menjadi tidak enak kepadanya.
“Ja, boleh aku bertanya sesuatu pada Shiori?” tanyaku kepadanya. Shiori hanya membalasnya dengan tatapan yang seolah berkata ‘apa’.
“Aku ini apa bagi Shiori?” tanyaku. Aku meruntuki diriku karena merasa pertanyaanku itu terdengar aneh.
“Manusia?” jawab Shiori dengan polosnya. Mendengar jawaban darinya, rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke meja. Sepertinya dia tidak mengerti maksud dari pertanyaanku.
“Sou ka. Arigatou ne, Shiori-chan.”
Aku membungkukan sedikit badanku untuk memberi hormat kepadanya.
“Ah,” Shiori tampaknya baru paham setelah melihatku menunduk kepadanya, “maksudnya Rinka itu semacam hubungan ya?”
DEG
Tebakannya tepat. Aku jadi bingung harus menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ padanya.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Shiori langsung tersenyum ke arahku.
“Nee, Rinka,” panggilnya, “dulu aku pernah bilang kepada Akihito. Meskipun aku punya banyak sekali teman dan sahabat, cuma ada dua orang yang bisa buat aku ngerasain gimana perasaan mereka. Orang itu Akihito sama kamu.”
Setelah berkata seperti itu, Shiori menundukan wajahnya, “Rinka adalah orang yang pertama kalinya membuatku bisa merasakan bahwa ada orang yang benar-benar care padaku,” Shiori terdiam sejenak, “maka dari itu.. terima kasih banyak ya, Rinka.”
“Shiori-chan,” aku kehilangan kata-kataku dikala itu. Tanpa aku sadari, aku berjalan mendekatinya dan langsung memeluk dirinya. Aku berbisik pelan padanya, “Shiori-chan ga daisuki. Arigatou mo, Shiori-chan.”
Syukurlah, rupanya tanpa aku sadari Shiori juga merasakan hal yang sama padaku. Aku sangat bersyukur, karena pada detik itu perasaanku tersampaikan padanya dan perasaan dia pun juga tersampaikan. Disaat itu juga kami baru bisa saling menggapai satu sama lain. Aku akan berusaha untuk mengurangi keegoisanku serta sikap kekanakkanku. Karena pada kenyataannya, sampai detik ini juga aku dan Shiori bisa terus bersama seperti ini. Bahkan kami berniat untuk memasuki universitas yang sama.
“Nee, Rinka. Bagaimana kalau kuliah nanti kita di universitas yang sama?”
“Uhm, universitas mana, Shiori-chan?”
“Dimana ya..” Shiori tampak berpikir sejenak.
“Bagaimana dengan Kyoto University?” usulku.
Shiori mengangguk setuju, “Kyoto University!”
Seiring berjalannya waktu, banyak hal yang tidak akan kau ketahui. Mungkin kau mengira bahwa apa yang kau rasakan tidak akan pernah tersampaikan kepadanya. Namun pada kenyataannya, perasaanmu itu justru benar-benar tersampaikan tanpa kau sadari.
Cerpen Karangan: Nada Az Zahra

Cinta Celia

Kringggg. kringggg…
ponselku berdering untuk kedua kalinya, masih nama yang sama tertera di layar ponsel. Masih enggan aku mengangkatnya, sampai pada titik jenuh aku mendengar dering ponselku.
“hallo” sapa suara dari ponsel
“hmm ya?” jawabku enggan
“kemana aja, ditelpon dari tadi juga” gerutunya kesal
“hapenya disilent, jadi gak tau” ujarku bohong
“dimana kamu? aku jemput ya”
“haaa?”aku tersentak
“iya aku jemput” ulangnya
“aku lagi gak di rumah, lagi pula udah malem begini”
“emang kamu dimana?” tanyanya
Aku diam, tak menjawab. Kuputar bola mataku, mencari alasan.
“udah ya aku capek, mau istirahat.” jawabku menutup perbincangan melalui ponsel tadi.
Tak habis pikir, kenapa aku begitu membenci sosok lelaki satu itu, mungkin karena dia kerap kali menggores pilu di hatiku. Meskipun begitu, kami pernah bersama, dan aku pernah menyayanginya. Aku tipe cewek yang mudah jatuh cinta, kalau sudah dibuat nyaman ya pasti luluh (bukan murahan ya tapi)
Saat ini yang kurasakan adalah bimbang, bagaimana tidak aku harus memilih satu dari empat cowok yang kini tengah aku PHP-in (hihi). Mulai dari Eros, dia ini pacar nyataku selama dua bulan belakangan ini sebelum pada akhirnya aku menemukan satu sosok yang begitu mempesona di mataku. Yang kedua adalah Alan, status kami disini backstreet. Dia tau kalau aku sudah memiliki kekasih, tapi entah kenapa dia mau kujadikan selingkuhan dan ini sudah berjalan setengah bulan. Nah yang ketiga ini sosok yang selalu membuatku terbuai tiap kali kami Eye Contact. Namanya Rizky, awalnya memang aku tak mengenalnya sampai pada suatu hari temanku (temannya juga) memberitahu kalau Dia menyukaiku, dan (istilah kerennya) ngajak kenalan. kenalanlah kita, dan aku terpukau saat pertama kali mata ini menatap matanya (duh lebay). Dia adalah salah satu dari keempatnya yang berhasil membuatku terpesona, apakah harus kupilih dia? Dan yang terakhir adalah Novan, dia ini teman seperjuangan Rizky. mereka satu tongkrongan, entah kenapa dia menyukai ku sejak pertama bertemu katanya. Ketiga cowok itu (selain Rizky) sudah menyatakan cintanya padaku, aku berharapnya yang mengatakan itu bukan mereka tapi Rizky. Aku juga gak tau kenapa Rizky tidak menggungkapkan isi hatinya, padahal selama kami bersama aku selalu berusaha memberinya kode tapi hingga kini Rizky belum juga peka.
Dan cerita bermulai ketika suatu malam aku dan kedua sahabatku Vivi dan Dian memutuskan untuk berjalan jalan.
“mau kemana?” tanya Vivi, aku dan Dian hanya mengangkat bahu
“ke tongkrongan bang Iyas aja yuk!” ajak Dian, dan kita semua setuju.
Meluncurlah kami menuju tongkrongan bang Iyas.
“eh Dian, mau kemana?” sapa bang Iyas begitu kita bertiga menstandarkan sepeda motor tepat di depan rumah Rizky (itu informasi yang ku dapat dari Dian)
“mau kesini” jawab dian dan aku tertawa kecil, seketika mataku dan mata Rizky betemu. Ada rasa hangat menjalar mengikuti desir darah daam tubuhku. Tak lagi lain dan tak lagi bukan, aku jatuh cinta (lagi)
“Rizky, cieeee ini celia. Kemarin nanyain” ledek Dian, aku mengerucutkan bibirku gemas. Sedang Rizky hanya tertawa.
Entah apa yang aku rasakan kala itu, bahagia bukan main saat melihat senyum dan tawanya karena ku. Aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Sepulang kami bertiga dari rumah bang Iyas, ada satu sms masuk nomornya tak dikenal. Perlahan aku buka pesan itu
Ini celia ya? Ini Rizky, senangya bisa ketemu kamu
Aku kaget, terlonjak dan senang bukan main.
“Rizky sms gue” teriakku kegirangan
“ah serius lo?” tanya Dian seraya menganbil alih ponsel dari genggaman ku
“cieee, udah sikat bro. Kapan lagi” gantian Vivi yang bicara setelah lama dia memilih untuk diam
“ah apaan sih, terus Eros gimenong?” tanyaku dengan dahi berkerut
“udah gak papa, kan kita kang kipak (cewek modus)” seketika tawa menggelak membuyarkan fantasiku bersama Rizky
“yaudah deh” jawabku akhirnya
Ini adalah malam minggu, jadwalku hari ini padat sekali maklum aku ini kan wanita idaman setiap pria yang melihatku (ini fitnah). Pertama, Eros yang statusnya adalah pacar nyataku sejak sore tadi sudah mengajakku jalan tapi belum aku jawab mengingat Eros adalah bukan satu-satunya yang meminta ditemani jalan olehku malam ini. Terlebih lagi Alan, dia terus menelepon ku sejak sore tadi juga, dia meminta aku bersedia mengizinkannya bertamu ke rumahku. Sampai pada akhirnya Novan mengabariku kalau dia teman-temannya (termasuk Rizky) mau main ke rumahku, tanpa pikir panjang aku iyakan kemauannya. Semua ini hanya karena Rizky semata.
“malem mingguan di rumah nih?” Tanya Novan mengawali perbincangan malam ini
“kelihatannya?” jawabku sekenanya
Semalaman kami menghabiskan waktu bersama-sama. Entah itu dengan bernyanyi, atau hanya bersenda gurau. Yang terpenting sekarang adalah aku bahagia bisa melihat Rizky tertawa bersamaku meskipun melalui perantara Novan.
Hubungan aku dan Rizky pun semakin dekat, kami jadi semakin sering bersama-sama. Dan itu membuatku bahagia sekali, sejenak aku melupakan semua lelakiku hanya demi diam berdua bersama Rizky. Sampai pada suatu hari Rizky mengirimiku sebuah sms
I love you Celia
Aku kaget bukan main, ada apa dengan Rizky? Apa tak salah dia mengirimiku sebuah sms seperti itu? Beribu pertanyaan seakan meledak di kepalaku dan duaaarrr…
Tepakan di bahuku membuyarkan lamunanku, aku menoleh seketika yang ku lihat adalah Dian.
“ada apaan sih? Ngagetin aja.” Gerutuku kesal
“itu ada bang Iyas sama teman-temannya di depan”
Aku tersentak, kaget bukan main “yang bener lo?” tanyaku masih tidak percaya
“liat aja sendiri” seusai berucap, Dian pun berlalu pergi
Aku pun bergegas keluar, dan benar di depan rumahku ramai anak-anak yang selalu kunanti kedatangannya karena mereka selalu datang membawa separuh hatiku yaitu Rizky.
“tuh dia” sapa Rizal, salah satu dari mereka setelah melihatku keluar
“lama bener neng, ngapain aja?” tanya bang Iyas, aku hanya senyam-senyum dikulum
“biasa bang, mau ketemu Rizky jadi ya dandannya lama” ledek Dian, sembari menyenggol lengan Rizky
“ih apaan sih lo!” decak ku agak sebal, sial frontal banget ini anak. Bikin gue malu aja, kalau tiba-tiba Rizky risih terus ngejauh gimana? Gak ada ampun deh. Gerutuku dalam hati
Seperti biasa, kami menghabiskan semalaman bersama-sama dengan canda dan tawa. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku bisa meliat tawa Rizky kala itu. Aku merasa Rizky berbeda, dia tak lagi mencuri pandang ke arahku sesering mungkin, hanya sesekali. Dia hanya tersenyum tiap kali aku kecolongan tengah memandanginya. Aku tak tau kenapa Rizky akhir-akhir ini, yang aku tau sekarang adalah dia berbeda
Hingga kini Rizky masih enggan memberi kepastian tentang hatinya padaku, kadang aku resah, aku cemas dan aku gelisah. Aku ingin dia menyatakannya padaku, kalau aku tidak tau malu sudah kukatakan aku mecintainya sejak lama. Tapi aku masih punya malu, dan ingat aku ini adalah perempuan aku tak mungkin memulainya. Setelah lama berfikir, aku ambil kesimpulan bahwa Rizky selama ini hanya memberiku harapan palsu. Aku terima itu itu sebagai karmaku karena selama ini aku juga mamberikan harapan palsu terhadapnya dan tiga lelakiku lainnya.
Sekarang aku tengah bermain-main bersama karmaku, ku akui ini memang sakit terlebih karena aku begitu mencintai Rizky. Tapi biarlah begini adanya, toh kalau memang jodoh pasti bertemu. Dan aku percaya itu.
Dan yaaa, inilah aku Celia Anggita dan hidupku dan juga para lelakiku. Cukup aku saja yang seperti ini, dan aku saja yang merasakan karmanya.
Cerpen Karangan: Chintya Wulandari
Facebook: www.facebook.com/chintya.whoellanddari
Hai namaku chintya. ini cerpen pertamaku di cerpenmu.com. gabung bersama aku ditwitter dan ask.fm yaaaa @chintyaWD

Dari Musuh Jadi Sahabat

“Anak anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Bapak harap kalian senang atas kedatangannya. Katty, mari masuk!” Seru Pak Burhan, wali kelas kami.
Kulihat seorang anak perempuan berambut pirang masuk ke kelas dengan bertolak pinggang. Wajahnya sangat cantik, gumamku.
“Katty, silahkan memperkenalkan diri,” kata Pak Burhan.
“Ehm.. Hello! Namaku Katty. Aku berasal dari negeri kanguru, tepatnya Australia. Aku lahir di Perth. Dan kuharap, kalian senang atas kedatanganku.” Kata Katty memperkenalkan dirinya. Aku tercengang. Dari Australia?
“Baiklah, Katty, silahkan duduk di samping…” Pak Burhan berfikir lama.
“Ah, itu. Di samping Amanda. Tepatnya di belakang Amy. Anak berambut coklat itu!” Seru Pak Burhan. Ya, anak berambut coklat adalah aku.
“Ooh… Yang itu…” Ia memasang wajah sinis padaku. Ia berjalan bagai model, dan duduk tepat di belakangku.
Aku menyapanya,
“Hai! Namaku Amy. Senang bisa mengenalmu…” Sapaku ramah dengan senyuman seraya mengulurkan tanganku.
“Iih… Jijik! Udah, sana sana!” Ucapnya kasar. Aku hanya bisa diam. Walaupun ada sedikit kekecewaan di dalam hati. Hmm… Biasanya anak baru memang begitu, gumamku seraya mengalihkan pandangan ke papan tulis. Mungkin lain kali ia bisa menerimaku, gumamku lagi.
Teng! Teng! Teenggg!!!
Bel tanda pulang sekolah berbunyi.
“Baiklah anak anak. Silahkan berkemas kemas. Waktunya pulang.” Kata Pak Burhan. Aku pun pergi ke luar kelas.
“Amy, tunggu!” Teriak seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke belakang, mencari cari asal suara.
“Eh, Tara. Ada apa?” Tanyaku.
“Bagaimana rasanya duduk dekat dengan anak baru? Pasti enak dong! Apalagi dari Australia.” Tanya Tara, teman akrabku. “Tidak juga, Ra… Ia terlihat sangat sombong. Benar benar sombong. Tapi aku yakin, suatu saat ia akan menerimaku…” Jawabku, dengan nada rendah.
Tiba tiba…
“Awas, minggir! Aku mau lewat! Beri jalan!”
BRUKK!
“Aww, sakit…” Rintihku karena terjatuh. Aku terjatuh karena didorong oleh Katty, anak baru itu.
“Eh anak baru! Pakai mata dong kalau mau lewat!” Teriak Tara.
“Udahlah, Tar. Gak apa apa, kok. Namanya juga anak baru…” Kataku membela Katty.
“Kenapa kamu bela belain dia? Dia kan jahat sama kamu… Dia itu menganggapmu musuh. Bukan teman.” Perkataan Tara membuatku terdiam. Apa benar yang dikatakan Tara?
“Kau benar, Tar…” Kataku seraya menganggukkan kepala. Aku terhasut omongan Tara…
Hari ini, aku akan benar benar mengubah sikapku pada anak itu. Ia menganggapku musuh, aku pun harus begitu. Aku takkan kalah darinya!
Saat di sekolah, aku berlari terburu buru masuk ke kelas. Meletakkan tas dan duduk di kursi. Seperti biasa, Tara menyapaku,
“Pagi. Sepertinya semangat nih, hari ini…” Sapanya.
“Haha… Aku mengenal sapaan itu sejak kelas 1 sd…”
“Hmm… Ya…”
Cukup lama kami berbincang bincang. Tiba tiba saja anak berambut pirang datang memasuki kelas. Aku kenal rambut pirang itu. Katty!
“Morning!” Sapa Katty dengan sombongnya.
“Huh…” Aku mendengus kesal. “Amy, kita ke taman saja.” Ajak Tara.
“Iya, aku juga malas melihat wajah anak baru itu!” Seruku mengiyakan.
Sesampainya di taman…
“Aduh, Ra… Aku tinggal dulu ya… Gak tahan nih…” Kataku.
“Iya. Udah cepat sana…” Kata Tara.
Aku pergi ke toilet untuk buang air kecil.
Sesampainya di toilet, aku menutup pintu dan buang air kecil. Saat ingin keluar…
“Wah, gawat! Pintunya terkunci! Tolooongg! Tolooongg! Toloongg akuuu!” Teriakku meminta bantuan seraya mengetuk ngetuk pintu toilet
Sudah hampir 1 jam aku disini…
Aku tak tahan lagi…
Seketika semuanya gelap…

Aku membuka mata perlahan. Pandanganku masih buram. Terlihat seorang anak perempuan di hadapanku. Siapa dia?
Semakin lama penglihatanku semakin jelas. Dan ternyata anak yang kukira Tara ternyata bukan! Melainkan Katty, Anak Australia itu.
Aku memperhatikan sekelilingku. Ini ruang UKS!
“Ugh… Katty?! Kau pasti yang telah mengunci pintu toiletnya kan?! Tolooong! Di sini pelakunyaa!!” Teriakku.
“Shht…” Katty menutup mulutku.
“Amy, Katty bukan pelakunya. Justru Kattylah yang telah menyelamatkanmu. Pintu toiletnya tidak ada yang mengunci. Melainkan terkunci sendiri. Maklum, pintu toilet itu tidak pernah diperbarui…” Jelas Pak Burhan yang ternyata mendengar teriakanku. Tunggu, Katty menolongku?
“Katty?” Kataku tak percaya.
Pak Burhan mengangguk. Tak terasa, air mata jatuh dengan deras dari mataku.
Katty memelukku. Sangat hangat…
“Terima kasih Katty. Maaf, aku telah menuduhmu…” Aku mempererat pelukan.
“Aku juga minta maaf karena bersikap sombong padamu. Aku tahu itu salah…” Air mata Katty berjatuhan. Ia melepaskan pelukan dan mengacungkan jari kelingkingnya dan mengatakan,
“Sahabat?” Tanyanya seraya menghapus air mata di wajahnya.
Aku mengangguk dan berkata, “Ya, sahabat,” seraya mengacungkan jari kelingkingku.
Kami kembali berpelukan. Pak Burhan yang menyaksikan persahabatan kami, hanya bisa tersenyum melihatnya.
Banyak pelajaran yang kuambil dari kisah ini:
1. Tak boleh bersikap sombong kepada teman ataupun orang lain,
2. Jangan mudah terhasut dengan omongan orang lain,
3. Jangan sembarangan menuduh atau menfitnah orang, dan
4. Jangan melihat orang dari luarnya, kita takkan tahu isi hati seseorang.
-End-
Semoga bermanfaat pagi para pembaca,
Amin… ^_^
Cerpen Karangan: Hannisa Tsabitah Aura

 

Copyright @ 2014 Aditya Blogz.

Designed by MR Save | Aditya Blogz