Thursday 4 September 2014

Todoke

Pertama kali aku berada di kelas 11 ini, aku merasa minder mengingat kelas yang kutempati saat ini merupakan kelas kedua dengan tingkat saingan terberat di antara kelas 11 lainnya. Di kelas inilah —lebih tepatnya kelas 11-5— aku pertama kali melihatnya. Seorang siswi yang menurutku merupakan siswi terjenius yang pernah aku temui.
Ia bernama Fuyuki Shiori. Seorang siswi yang aktif dan mudah bersosialisasi di sekolah, jenius, ramah, serta memiliki banyak sekali teman. Ia merupakan siswi yang terpandang dan dikenal oleh banyak guru dikarenakan prestasinya. Banyak siswa maupun siswi yang senang untuk berbincang-bincang dengan dirinya. Ia sangat baik dan ramah sekali kepada semua orang yang dikenalnya termasuk diriku, Hikari Rinka.
Awalnya, aku tidak begitu menyadari keberadaan Shiori di kelas ini. Jarak antara tempat dudukku dengan tempat duduknya lumayan jauh. Aku mulai berinteraksi dengan dirinya saat aku sadar bahwa aku sering kali mendapati dirinya tengah memperhatikanku. Tidak lama, hanya saja tatapannya saat melihatku itu… rasanya berbeda.
Selain keanehan dari tatapannya, aku menemukan keanehan lainnya pada saat pertama kali kami berbicara, Shiori langsung memanggilku dengan nama pemberian orangtuaku yaitu ‘Rinka’. Sementara, aku pertama kali memanggilnya dengan nama marganya, ‘Fuyuki’.
“Nee, Rinka,” panggil Shiori saat jam pelajaran olahraga, “kenapa Rinka suka sekali membawa sapu tangan sih?”
Aku mengikuti arah lirikan mata Shiori. Sapu tangan putih yang kugenggam sedari tadi. “Etto.. aku hanya sudah terbiasa seperti ini sejak SMP. Memangnya ada apa, Fuyuki-san?”
Shiori hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis kepadaku, “Iie, nandemonai.”
Aku tidak terlalu memperdulikannya saat itu. Toh, aku dan Shiori tidak terlalu dekat. Namun, ketika kami sedang menjalani ujian tengah semester, Shiori memintaku untuk memanggilnya dengan nama pemberian orangtuanya.
“Rinka, aku juga mau dipanggil dengan namaku,” ujarnya yang sedang berdiri koridor kelas, “seperti Yuki yang dipanggil Yukicchi olehmu atau Kurumi yang dipanggil Micchan.”
Aku mengerjapkan kedua mataku beberapa kali saat mendengarnya, “Uhm, rasanya agak sulit.”
“Kenapa?” tanya Shiori penasaran. Mungkin ia tidak terima atas jawabanku tadi.
“Karena Fuyuki-san adalah orang yang aku hormati sekaligus aku kagumi juga. Rasanya agak aneh jika memanggil Fuyuki-san dengan nama kecil Fuyuki-san” jawabku dikala itu. Akan tetapi, melihat ekspresi kecewa terlihat jelas di wajahnya membuatku berpikir ulang.
Keesokan harinya, di jam istirahat pada pertengahan ujian aku mencoba untuk memanggil Shiori dengan nama kecilnya. Saat itu, aku sedang berlajar berdua dengan Shiori di depan perpustakaan untuk mata ujian berikutnya yaitu Teknologi Ilmu Komputer.
“Uhm,” pada awalnya aku merasa ragu-ragu, “Shiori-chan?”
Sedetik kemudian, aku melihat kedua bola matanya berbinar-binar dan senyumannya merekah.
“Un! Rinka-chan,” ia membalasnya dengan memanggil namaku. Setelah itu, kami tertawa bersama. Aku dan Shiori pun mulai bercerita —mengabaikan buku Ilmu Komputer kami.
Semenjak kejadian itu, baik aku dan Shiori mulai dekat satu sama lain. Aku terus merasa senang dan nyaman bisa berada di dekat Shiori. Tanpa aku sadari, sisi egoisku mulai keluar. Terkadang, aku sedih ketika melihat Shiori mengabaikanku dan memilih untuk bersama teman-teman yang lain.
Aku mulai berharap lebih pada Shiori. Aku menyadari bahwa sosok Shiori mengingatkanku pada dua orang sahabat baikku, Saki dan Aida.
“Mungkin aku ingin bisa menjadi sahabatnya Shiori” gumamku pada diriku sendiri.
Shiori sangat baik sekali padaku. Terkadang, ia memberiku perhatian yang belum ia pernah tunjukan kepada yang lainnya. Aku merasa sangat bersyukur karena bisa mendapat perhatiannya itu.
Namun, di sisi lain aku tidak menyukainya. Ketika Shiori menunjukan kebaikannya kepadaku, aku pasti menjadi egois. Bodoh dan kekanakkan sekali aku disaat egois seperti itu. Jadi beberapa kali, aku berniat untuk menjauhi Shiori agar aku tidak menjadi tergantung padanya. Lagi pula, aku tidak mengetahui apa sebenarnya diriku ini di mata Shiori.
Pelajaran pertama pada hari Kamis adalah olahraga. Seluruh murid dari kelasku sudah bekumpul di lapangan. Hari ini kami berlatih untuk lompat di atas peti lompat. Dari awal pelajaran ini dimulai, aku sudah menjaga jarakku dengan Shiori. Karena terlalu fokus memperhatikan latihan yang lainnya, aku tidak sadar kalau Shiori mendekatiku.
“Rinka, bisa bantu aku gak? Aku mau latihan kayang” pintanya. Aku hanya mengangguk pelan tanpa menjawab sepatah kata pun.
Seusai mencoba gerakan kayang, Shiori berdiri dan menatapku lembut, “Arigatou, Rinka-chan!”
Ia terus mengamatiku yang terdiam —tidak merespon perkataannya. Karena tidak nyaman diperhatikan seperti itu terus, aku pun mengangguk kecil kemudian pergi meninggalkannya.
Shiori menyadari keanehanku itu. Maka dari itu, pada jam setelah olahraga—yang kebetulan kosong karena sensei yang mengajar sedang berhalangan hadir —ia mendekatiku.
“Rinka kenapa?” tanya Shiori. Sepertinya ia sangat penasaran, ia bahkan menghampiri mejaku yang berada di pojok belakang kelas.
“Daijoubu, Shiori-chan.” Balasku singkat.
“Bohong,” sahut Shiori cepat, “ada apa?”
Aku menundukkan wajahku —tidak berani menatapnya. Sadar bahwa aku tidak akan mengucapkan sepatah kata pun, akhirnya Shiori menarik bangku yang ada di sebelahku dan duduk disana. “Rinka,” panggilnya ulang.
“Nee, Shiori-chan,” aku menghela nafas sejenak, “mungkin seharusnya semua ini tidak pernah ada ya.”
BRAKK
Aku langsung mendengar Shiori memukul mejaku pelan. “Kenapa Rinka bilang seperti itu? Aku gak suka mendengarnya.”
Aku mengangkat wajahku untuk memandang kedua matanya yang terlihat marah padaku.
“Habisnya…”
Kata-kataku terputus. Aku tidak tahu harus mengatakan apa sebagai alasannya.
“Rinka, bagiku semua ini seperti keajaiban. Aku hampir tidak menyangka semua ini bisa terjadi.” Kata Shiori lirih. Aku menjadi tidak enak kepadanya.
“Ja, boleh aku bertanya sesuatu pada Shiori?” tanyaku kepadanya. Shiori hanya membalasnya dengan tatapan yang seolah berkata ‘apa’.
“Aku ini apa bagi Shiori?” tanyaku. Aku meruntuki diriku karena merasa pertanyaanku itu terdengar aneh.
“Manusia?” jawab Shiori dengan polosnya. Mendengar jawaban darinya, rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke meja. Sepertinya dia tidak mengerti maksud dari pertanyaanku.
“Sou ka. Arigatou ne, Shiori-chan.”
Aku membungkukan sedikit badanku untuk memberi hormat kepadanya.
“Ah,” Shiori tampaknya baru paham setelah melihatku menunduk kepadanya, “maksudnya Rinka itu semacam hubungan ya?”
DEG
Tebakannya tepat. Aku jadi bingung harus menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ padanya.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Shiori langsung tersenyum ke arahku.
“Nee, Rinka,” panggilnya, “dulu aku pernah bilang kepada Akihito. Meskipun aku punya banyak sekali teman dan sahabat, cuma ada dua orang yang bisa buat aku ngerasain gimana perasaan mereka. Orang itu Akihito sama kamu.”
Setelah berkata seperti itu, Shiori menundukan wajahnya, “Rinka adalah orang yang pertama kalinya membuatku bisa merasakan bahwa ada orang yang benar-benar care padaku,” Shiori terdiam sejenak, “maka dari itu.. terima kasih banyak ya, Rinka.”
“Shiori-chan,” aku kehilangan kata-kataku dikala itu. Tanpa aku sadari, aku berjalan mendekatinya dan langsung memeluk dirinya. Aku berbisik pelan padanya, “Shiori-chan ga daisuki. Arigatou mo, Shiori-chan.”
Syukurlah, rupanya tanpa aku sadari Shiori juga merasakan hal yang sama padaku. Aku sangat bersyukur, karena pada detik itu perasaanku tersampaikan padanya dan perasaan dia pun juga tersampaikan. Disaat itu juga kami baru bisa saling menggapai satu sama lain. Aku akan berusaha untuk mengurangi keegoisanku serta sikap kekanakkanku. Karena pada kenyataannya, sampai detik ini juga aku dan Shiori bisa terus bersama seperti ini. Bahkan kami berniat untuk memasuki universitas yang sama.
“Nee, Rinka. Bagaimana kalau kuliah nanti kita di universitas yang sama?”
“Uhm, universitas mana, Shiori-chan?”
“Dimana ya..” Shiori tampak berpikir sejenak.
“Bagaimana dengan Kyoto University?” usulku.
Shiori mengangguk setuju, “Kyoto University!”
Seiring berjalannya waktu, banyak hal yang tidak akan kau ketahui. Mungkin kau mengira bahwa apa yang kau rasakan tidak akan pernah tersampaikan kepadanya. Namun pada kenyataannya, perasaanmu itu justru benar-benar tersampaikan tanpa kau sadari.
Cerpen Karangan: Nada Az Zahra

Unknown

Artikel Boleh Di Sebar Luaskan Dan Jangan Lupa Sertakan Link Sumbernya

0 komentar:

Post a Comment

Tinggalkan Komentar anda di sini !

 

Copyright @ 2014 Aditya Blogz.

Designed by MR Save | Aditya Blogz