Bayangan Matahari
Hitam..
Pantulan atau cerminan?
Mereka bermakna dalam,
Mereka bayangan..
Matahari harusnya berbayang
Jadi, ‘kan kuberi satu
Cukup untuk keberadaanmu
Satu yang lebih darimu
Aku tertegun membaca secarik kertas yang disematkan bersama sebuah
kado ulang tahun untukku. Aku mencoba menggeser tempat dudukku mungkin
agar datang sebongkah wahyu menggelayut di otakku. Maknanya? Aku sama
sekali tidak tahu apa maknanya.. jujur saja, aku bodoh dalam hal sastra
dan adikku ini suka sekali mengorek-ngorek kelemahanku. Aku menggaruk
kepalaku yang tidak gatal.
—
“Jadi?” Ara mengetukkan ujung jari telunjuknya ke atas meja perpus di
depanku. Mendengar pertanyaannya, aku hanya bisa nyengir kuda. Jadi aku
sedang ada di ruang interogasi atau di ruang perpus? Kenapa adikku ini
suka sekali membuat sidang dadakan di sini?
“Ehehehe..” Aku tersenyum hambar, Ara melotot. Baiklah-baiklah, aku
memang tidak tau sama sekali apa arti dari puisinya. “Bayangan?
Memangnya kenapa dengan bayangan? Apa yang diberi satu? Bayangan? Apa
aku sudah mati? Lalu apa hubungannya dengan matahari? Kenapa bukan
bintang atau bulan?” aku nyerocos mengeluarkan isi pikiranku yang
membuat otakku jadi tambah dangkal.
“Kakak! Kan sudah kubilang pikirkan baik-baik artinya! Percuma aku
ngasih kado kakak kalau kakak nggak tau arti dari suratnya!” Ara
menghentakkan kakinya dan duduk dengan muka terlipat. Sudah kuduga ini
akan terjadi. Tidak masalah teriak di perpus, toh gak ada orang yang
dengar, setidaknya hampir gak ada. Anak di sudut perpus melirik kami
sekilas dari balik buku yang dibacanya.
Aku diam saja. Tidak tau apa yang sebaiknya kulakukan atau katakan
pada adikku yang suka cemberut ini. Aku ‘kan bukan sastrawan atau
sastrawati, jadi kenapa aku harus menerjemahkan puisinya? Dipajang di
dinding kamar ‘kan bisa … sebagai pajangan tentunya. Diabadikan,
dilestarikan, ditemurunkan, dimakan diminum.. nah, nah.. kalo mikirin
soal makanan, otakku mendadak encer saja.
Aku berdiri dari bangku perpus dan menyeret Ara keluar ruangan.
“Hei, hei, penculikan! Mau kemana nih?” Ara mencoba berontak dari
genggamanku tapi tentu saja tenagaku tak selemah otakku. Kami berpapasan
dengan beberapa murid lain selepas keluar ruangan dan hanya ber-say
hai, lalu buru-buru ke kantin sebelum adikku ini semakin gondok.
Beberapa cewek kenalan menyapaku tapi coba tak kuhiraukan, bisa alasan
gak denger, kan? Jadilah kami pusat perhatian karena adikku tak mau
berhenti membuka mulutnya, terus bertanya pertanyaan yang sama ‘kemana’.
Adik? Yah, dari tadi aku berkata bahwa dia adikku, dia memang adikku,
adik angkatku. Setidaknya itu salah satu hal yang membuat kami yang
notabene-nya sebaya ini jadi pusat perhatian, karena dia sebenarnya
teman sekelasku.
—
“Yosh.. mungkin kalo mikir sambil makan akan sedikit membuka jaringan
otakku yang sebenernya jenius..” aku manggut-manggut sambil memakan
bakso pesananku. Ara menatapku dengan mata menghujat. Mungkin dia ingin
berkata ‘otakmu gak ada benernya udah dari sono’. Tapi, aku mencoba
tidak mempedulikannya. “Menurutku..” lanjutku, “Kau ingin menjadi satu
bintang yang lebih besar dari matahari.. Namaku ‘kan Surya, jadi
pastilah matahari dalam puisimu itu maksudnya adalah aku..” aku mencoba
mereka ulang puisi Ara dalam otakku. Kenapa tidak dari kemarin aku
melakukan ini? Kurasa segala hal apabila dihubungkan dengan makanan akan
terasa lebih enak. Eh, mudah.
Ara menatapku tak percaya, ia berhenti makan pangsitnya. “Bener..” ia
ber-applause ria layaknya sedang menonton konser drama musikal
kesukaannya. Aku tersenyum hambar sambil berharap ia tidak bertanya
lebih jauh lagi. “Kalau begitu nanti pulangnya aku mau dibonceng Kak
Surya..” dia tersenyum dengan sangat lebar, seperti anak kecil yang
diberi balon oleh ibunya. Aku meneruskan makan sambil mengangguk.
Syukurlah..
Raut wajah Ara mendadak berubah. Ia mengaduk-aduk pangsit di dalam
mangkoknya. “Kak..” ia memanggilku lirih, aku menoleh. “.. kalau nanti
aku udah nggak ada..”
BRAAK!
Aku menggebrak meja hingga membuat murid lain di sekeliling meja kami
menoleh padaku. Ara menatapku dengan kaget. Aku menatap Ara dengan
kening berkerut. Habis kesabaranku jika Ara mulai mengatakan hal yang
tidak wajar seperti itu. Sudah seminggu ini dia mencoba mengatakan
sesuatu semacam itu dan selalu kuputus di tengah-tengah. Aku tidak suka
memikirkan mengenai kematian, terlebih jika itu Ara.
Aku segera duduk kembali dan berusaha meredam emosiku. Apa sih yang
sebenarnya tengah bertengger di pikiran Ara? Dia kok jadi melankolis
begini? Aku mengalihkan pandangan dari Ara, mencoba menghindari tatapan
emas Ara. Tatapan yang mampu membuatku luluh dalam sekejap waktu dan
mengaduk-aduk emosiku. Dengan melihatnya, aku tidak tau apa yang kurasa
hingga ia mampu menyihirku sejak pertama kali bertemu. Aku
menyayanginya, tapi ini bukan cinta yang selayaknya pemuda. Hanya sayang
dari seorang kakak kepada adiknya dan ia dengan mudah mampu menjelma
jadi hal yang tak kusadari telah menempuh dimensi yang kubentengi.
Sehari setelah ayahku tiada, Ara hadir dengan kehangatan manja yang
menaungi duka. Ia diasuh ibu dari tetangga yang juga meninggal ketika
bersama Ayah dalam suatu insiden kecelakaan yang merenggut 5 orang
nyawa. Di dalamnya. Ayahku dan kedua orangtuanya. Waktu itu kami sebaya,
sama-sama berumur 7 tahun dan tak mengerti apa-apa. Tepat 10 tahun yang
lalu, pada tanggal ini. Dan puncaknya 7 hari yang lalu, Ara mulai
mengigau, kadang ia melamun, dan mulai berbicara tentang kematian. Aku
tak bisa menjamah apa yang dipikirannya, tapi aku merasa aku berada
semakin jauh darinya. Tak lagi bersama ruhnya. Hanya raganya.
Aku tak mau kehilangannya.
—
Aku menangis dan meraung sejadinya. Aku tak bisa mengendalikan
emosiku di tengah kegelapan yang menyelimutiku. Aku tak bisa melihat
apapun, aku tak bisa melihat Ara. Aku tak bisa melihat ibuku yang
menangis di sampingku. Yang kudengar hanya suara. Suara tanpa rupa,
gelap gulita, seakan semua yang di dunia ini hanya berisi bayangan maya
yang hanya bisa kuraba.
—
Aku memacu motorku dengan Ara duduk tepat di belakangku. Sesuai
janji, aku memboncengnya sepulang sekolah. Ada perasaan aneh
menyelimutiku sejak kejadian di kantin, di kelas aku tak bisa
berkonsentrasi pada pelajaran, tak juga bisa menerjemahkan perasaan yang
meremas kebimbangan, membuat kegaduhan pikiran, dan merampas
ketenangan. Ara memeluk pinggangku.
Aku mencoba berkonsentrasi mengemudi, menepis segala kekalutan tak beralasan yang mengejar setiap sudut nyaman.
“Kak..” Ara berbisik di telingaku. Aku menoleh sekilas padanya.
“Ya?” aku menjawab sekedarnya.
“Aku ..” ia terdengar ragu,
“Jangan mengatakan mengenai kematian..” ukh! Aku merasa dadaku nyeri
ketika mengatakannya. Aku tidak suka ini, aku berada di luar zona
nyamanku. Aku mulai gelisah. Ara tertawa kecil, hampir tak tertangkap
indera pendengaranku.
“Aku menyayangi kakak..” ia berkata tegas, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, aku juga mencintai Suryaku..”
Sebuah mini bus keluar dari jalurnya. Melaju kencang, mengarah kepada mobil di depan kami.
CKIIITT !!!
—
Aku meraba mataku. Ada. Tidak berkurang. Tapi kenapa aku masih tidak
bisa melihat apa-apa? Dimana cahayanya? Apakah matahari telah berhenti
bersinar? Aku masih terus menangis. Berharap tangisanku telah cukup
menyedihkan untuk meminta Tuhan agar memberikan seberkas cahaya padaku.
Aku takut terhimpit di dalam kegelapan ini, dadaku sesak.
“Sudah, Surya.. jangan menangis..” ibu mencoba menenangkanku di sela
tangisannya. Tak peduli dengan suara itu, aku berusaha mencari cahayaku
sendiri, aku tak bisa tenang. Tiba-tiba, bayangan seseorang berkelebat
di otakku.
“Ara.. mana Ara?”
—
“Apa kau belum cukup membuatku bersyukur atas kehadiranmu, kini kau
buat aku harus berhutang budi padamu? Kau bercanda?” aku menggenggam
erat bunga yang belum kutaburkan di atas makam Ara. “Tidak cukupkah aku
membuatmu seperti ini dan kau kini memberikan matamu padaku yang tidak
berguna ini?” aku menangis perlahan. Aku menyesal. Menyesal mengapa
waktu itu aku hanya terpaku melihat mini bus itu menabrak mobil di
depanku, mengapa waktu itu aku tidak menghindari tabrakan itu, malah
mengerem tanpa sadar tapi tak beranjak dari tempatku. Menatap bongkahan
dari tabrakan yang dengan cepat bergerak ke arah kami, lalu merenggut
mata dan Araku.
Bodohnya aku! Aku meremas kepalaku yang dibalut perban karena
terluka, tapi ibu berusaha mencegahnya. “Kenapa aku tidak ikut mati
waktu itu? kenapa?” aku bertanya setengah membentak kepada ibuku yang
masih menangis. Ia menggeleng dan memelukku. Memeluk segala kerancuan
hatiku. Aku tak bisa berhenti menangis, sama seperti ibuku aku juga tak
mampu menahan gejolak kesedihanku. Aku kehilangan lagi mutiara yang
kukasihi, setelah ayah, Ara, lalu siapa lagi?
Aku balas memeluk ibuku yang sesenggukan. Aku juga tahu Ara sangat
berarti bagi ibuku, Ara selalu menjadi bunga segar dalam keluarga kami,
tingkah manjanya memberi kehangatan pada kami dan tutur katanya mampu
menarik canda tawa kami. Ia pelita kami, setelah Ayah pergi. Ia harta
kami, yang seharusnya kujaga sampai mati.. bukan membiarkannya mati
begini.
Srek..
Ibu melepas pelukanku dan menyerahkan sebuah kertas lusuh yang hampir
tenggelam dirubung darah. Aku tersentak. Aku mengambil kertas itu.
“Ibu menemukannya di saku celanamu yang kau pakai sewaktu terjadi
kecelakaan..” aku tak percaya. Ini tulisan Ara. Jadi, kapan dia
menaruhnya di sana? Aku membuka dan mulai membaca tulisan itu. Tertegun.
Entah untuk ke berapa aku merasa terenyuh. Apalagi ini? Ibu tersenyum
padaku walau air mata terus membanjiri pipinya.
‘Kakak.. setidaknya jikalau aku tak ada, apabila bagian diriku masih
tersisa, aku ingin itu menjadi milik kakak.. biarlah walau aku tiada,
tapi bagian itu masih tersisa untuk bersama kakak melihat dunia. Jika
kakak adalah matahari itu, akulah bintang kedua yang lebih besar dari
kakak.. yang bisa memberikan bayangan pada kakak, sekalipun itu berarti
aku akan lebih cepat mati karena cahayaku lebih terang, asal kakak tetap
bersinar.. berharap, kakak ‘kan lebih bersinar.. aku mencintai kakak’
Cerpen Karangan: Raju (Ratna Juwita)
Thursday 4 September 2014
06:33
MR: Save
Unknown
Artikel Boleh Di Sebar Luaskan Dan Jangan Lupa Sertakan Link Sumbernya
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Tinggalkan Komentar anda di sini !